Biografi kh. Ma’shum ahmad
pendiri pondok pesantren
al-hidayah lasem
KELUARGA KH. MA’SHUM AHMAD
v Kelahiran dan keluarga Mbah Ma’shum
Nama asli yang
di berikan orang tuanya adalah muhammadun. Dia lahir di perkirakan sekitar
tahun 1290 H, atau 1870 M, di lasem. Tahun kelahiran itu di sebut tahun
perkiraan, sebab tidak ada seorangpun yang tahu pasti tahun berapa beliau di
lahirkan.
Ayah mbah
ma’shum bernama Ahmad, dia seorang yang mempunyai visi keagamaan tinggi.
Sehari-hari, beliau berprofesi di bidang perdagangan, hanya saja kurang bisa
dipastikan apakah mbah Ahmad adalah pedagang tingkat atas, menengah, atau
bawah. Yang jelas, jika kita melihat kisah yang disampaikan kiai Mas’adi bin
Nawawi (kajen, pati) bisa diyakini jika mbah Ahmad merupakan pedagang atau
pebisnis, setidaknya tingkat menengah.
Tampaknya,
beliau termasuk pedagang yang cukup kreatif, selain status nya yang pebisnis,
bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu merupakan seseorang yang
memiliki visi keagamaan yang cukup, dengan argumentasi bahwa beliau menyerahkan
pendidikan keagamaan mbah Ma’shum sewaktu kecil kepada kiai Nawawi (jepara).
Minimal, dari kenyataan ini dapt di simpulkan bahwa mbah Ahmad memilki atensi
atas wawasan keagamaan mbah Ma’shum. Dan dari mbah Ahmad itu, visi-visi dan
wawasan keagamaan mbah Ma’shum di tanamkan. Demikian juga dengan praktik
keseharian mbah Ahmad, sebagai bisnis, yang di kemudian hari juga mengalir
dalam darah mbah Ma’shum. Sedangkan nama ibu mbah Ma’shum adalah Qosimah.
Pasangan mbah
Ahmad dan mbah Qosimah di karuniai 3 orang anak, dua orang putri dan seorang
putra. Mereka adalah Nyai Zainab, Nyai Malichah dan mbah Ma’shum. Ketiga
putra-putri mbah Ahmad itu lahir, hidup dan wafat di lasem.
v Guru-Guru Mbah Ma’shum
Sejak kecil
hingga menginjak masa dewasa, mbah Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari
berbagai kiai, baik di lasem maupun di luar lasem seperti jepara, kajen, kudus,
sarang, solo, semarang, Jombang, madura, hingga ke makkah. Dari rumah ke rumah,
kampung ke kampung, sudah sewajarnya seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar
ke mana ilmu itu berada. Demikian halnya dengan mbah Ma’shum. Dia pun belajar
kepada banyak kiai.
Menurut kiai
Maimun Zubair dalm bukunya, mbah Ma’shum pernah mengaji kepada kiai Nawawi
(jepara), kiai Ridhwan (semarang), kiai Umar Harun (sarang), kiai Idris (solo),
kiai Dimyati (termas), serta kepada kiai Hasyim Asy’ari dan kiai Kholil
bangkalan. Masih menurut catatan kiai Maimun Zubair, Mbah Ma’shum juga pernah belajar
kepada kiai Dimyati At-Turmusi di Termas. Lalu, melanjutkan belajarnya ke
makkah, dengan mengaji kepada kiai Mahfudz At-Turmusi (w. 1338 H/1919 M).
Keberangkatan beliau ke makkah ini menyiratkan suatu informasi yang mendukung
dugaan bahwa kelurga mbah Ma’shum adalah keluarga yang memiliki tradisi
keislaman yang mapan dan keluarga mbah Ma’shum memiliki status ekonomi tertentu
yang dapat mengantarkannya ke pendidikan tertinggi.
v Pernikahan dan putra-putri Mbah Ma’shum
Mbah ma’shum
menikah untuk pertama kali dengan seorang perempuan dari desa sumber Girang,
lasem. Istri mbah Ma’shum yang pertama itu wafat di Arab Saudi ketika
melaksanakan haji bersama mbah Ma’shum. Mbah Ma’shum memiliki seorang putra
dari istri pertama yang selalu di ajak ke manapun dia pergi, untuk berdagang,
terkadang ke daerah salatiga, solo, terkadang ke daerah kediri.
Setelah
wafatnya nyai pertama itu, beliau menduda untuk jangka waktu yang agak lama.
Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/1906 M, beliau menikah untuk kali
kedua, yaitu dengan mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH.
Abdul latif bin mbah joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah sambu. Ibu mbah
Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH Abdul Aziz bin KH Abdul latif bin mbah
joyotirto bin mba joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah Sambu.
Mbah Nuriyah
yang terkenal dengan panggilan mbah Nuri lahir pada tahun 1312 H/1895 M. Dari
sini dapat di ketahui bahwa sewaktu menikah dengan mbah Ma’shum, mbah Nuri
berusia 11 tahun, sedangkan mbah Ma’shum berusia 36 tahun. Akan tetapi, dia
berkumpul atau tinggal serumah dengan mbah Ma’shum pada usia 14 tahun. Baik
mbah Ma’shum maupun Mbah Nuri sama-sama berasal dari kelurga terdidik dan
berpengetahuan islam. Jika mbah Ma’shum belajar pendidikan agama kepada orang
tuanya dan kepada para kiai, mbah Nuri cukup belajar dari orang tua saja.
Maklum, waktu itu belum banyak perempuan yang belajar ke luar rumah atau ke
luar kota. Bahkan bisa dikatakan hal tersebut sangat jarang sekali. Perempuan
belajar di pesantren, baik dalam bentuk menginap atau di asramakan, justru di
mulai oleh pendidikan yang di jalankan oleh mbah Ma’shum dan mbah Nuri,
setidaknya untuk level daerah lasem, rembang atau jawa tengah. Hal yang pasti
adalah bahwa mbah Nuri, setelah menikah mengaji kepada mbah Ma’shum sejumlah
pelajaran, hingga dia memiliki wawasan yang lebih dalam hal ilmu tafsir. Dari
pernikahan mbah Ma’shum dengan mbah Nuri ini, Allah memberikan mereka berdua
putra-putri yang berjumlah 13 orang, 8 di antaranya wafat ketika masih kecil.
Sebagai seorang
kiai, mbah Ma’shum memberikan bekal-bekal keagamaan secara dini kepada para
putra-putrinya, s bagaimana beliau mendapatkan bekal dari kedua orang tuanya.
Semua pengetahuan putra-putrinya, baik pelajaran Al-Qur’an maupun kitab kuning,
di awali dari pengajaran dia. Setelah menginjak dewasa, para putranya itu
mengaji kepada kiai lain di berbagai tempat.
Ali, putra
pertama mbah Ma’shum, lahir pada 2 maret 1915 M. Menikah dengan Hasyimah binti
mbah Munawwir, pendiri dan pengasuh pesantrean Krapyak, Yogyakarta. Kisah
pernikahan ini berawal saat mbah Ma’shum dan mbah Munawwir berdiskusi tentang
bagaimana mengembangkan wawasan-wawasan yang ada dalam kitab kuning di
pesantren krapyak yang kini di kenal dengan nama pesantren Al-Munawwir. Wawasan
kitab kuning di perlukan di pesantren ini karena selama ini pesantren tersebut
memfokuskan pengajiannya kepada hafalan Al-Qur’an.
Dari
diskusi itu, mbah Munawwir minta kepada mbah Ma’shum supaya di beri “bibit”
untuk mengomandani pengembangan ilmu-ilmu kitab kuning tersebut. Dan di
sepakatilah rencana untuk berbesanan antara keduanya. Mbah Ma’shum dan mbah
Munawwir sendiri sebelumnya telah mengenal satu sama lain saat keduanya
sama-sama belajar di pesantren jamsaren solo dan juga di pesantren bangkalan
Madura.
Putra
mbah Ma’shum yang kedua adalah Fatimah, lahir pada tahun 1918 M. Dia menikah
kali pertama dengan kiai Thohir bin kiai Nawawi, kajen, pati. Keduanya
berpisah, dan dia menikah lagi dengan kiai Muhammad bin kiai Amir, simbang,
pekalongan. Mereka berpisah, dan akhirnya dia menikah dengan kiai maftuhin bin
Masyhuri, dari jepara. Pasangan ini adalah pendiri pesantren Al-Fath, Ngemplak
lasem. Kiai Maftuhin wafat pada tahun 1401 H/1981 M, sedangakan Nyai Fatimah
wafat pada tahun 1417 H/1996 M.
Putra
ketiga mbah Ma’shum adalah Ahmad Syakir, lahir pada tahun 1338 H/1920 M.
Setelah melewati pendidikan dasar di keluarga, dia mengaji kepada Kiai Dimyati
Termas, Kiai Abbas cirebon, kiai Dalhar watucongol dan Kiai Munawwir Krapyak.
Dia menikah dengan Faizah binti Ahmad musthofa, dari tegalsari solo, pada tahun
1944. Nyai Faizah ini adalah penghafal Al-Qur’an sekaligus ahli tafsir terbaik
yang ada di lasem, dia melanjutkan perjuangan mbah Ma’shum dengan cara mengasuh
pesantren Al-Hidayat, sepeninggal Kiai Ahmad syakir, bagian Tahfidzul
Qur’an.
Putra
keempat hingga ketujuh adalah bernama Zainuddin,in, sholichah, Aba Qasim, serta
Asmu’i. Mereka wafat ketika masih kecil, sedangkan yang kedelapan adalah ibu
Nyai Azizah, lahir pada tahun 1348 H/1930 M, dan kini masih mengasuh pesantren
Al-Hidayat, dia menikah dengan KH. Makmur, lasem dan berpisah, lalu menikah
dengan KH. Ali Nu’man dan tidak punya putra.
Yang
kesembilan adalah ibu Nyai Hamnah, lahir pada tahun 1351 H/1932 M, dan tinggal
di kota Demak, suaminya KH. Sa’dullah Taslim, adalah alumni pesantren
Al-Hidayat, dan kini mengasuh pesantren At-Taslim, Demak. Putra Mbah Ma’shum
yang kesepuluh hingga ketiga belas adalah salamah, muznah, sa’adah, dan Abdul
jalal. Mereka wafat ketika masih kecil.
PETUALANGAN
SANG PEDAGANG
Mbah Ma’shum telah melanglang ke berbagai
tempat selama beberapa tahun dalam rangka mencari ilmu, nyaris seluruh ulama’ yang
memiliki torehan sejarah indah dalam kajian keislaman di datangi dan kepada
mereka beliau menyatakan diri sebagai murid. Setelah kenyang menuntut ilmu mbah
Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga, untuk menghidupi
keluarganya, mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang.
Perdagangannya tidak hanya di lasem saja, melainkan hingga ke pasar ploso
jombang. Selain berdagang beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan
pembuatan batu bara (putih) yang berada di daerah selatan babat, di desa
suwireh, sebelah utara daerah ngimbang.
Dalam
kehidupannya beliau adalah orang yang sangat sederhana, tidak banyak keinginan
duniawi yang hendak beliau raih, beliau tidak pernah memiliki sarung hingga
lebih dari 3 bij. Soal makanan beliau juga demikian, bagi beliau soal makanan,
yang penting nasinya hangat, itu sudah cukup. Beliau tidak memiliki kriteria
soal lauk, akan tetapi beliau paling suka dengan sambal petis, beliau juga
tidak pernah menggunakan sendok, apa lagi garpu ketika makan.
Sambil
berdagang, mbah Ma’shum juga mengajar ilmu pengetahuan agama kepada orang-orang
di sekitar sana, yang bertempat di pasar ploso, jombang. Kenyataan ini
menunjukkan pada beberapa hal, antara lain: betapa kuatnya magnet keilmuan yang
bersangkutan terhadap masyarakat; betapa masyarakat membutuhkan pencerahan
(keagamaan) kepada yang bersangkutan. Inti dari gambaran tersebut adalah adanya
dependensi masyarakat kepada kiai, khususnya dalam masalah keagamaan. Semua
yang beliau lakukan tersebut adalah kenyataan sejarah yang menyejukkan, juga
keteladanan yang patut di kembangkan.
Selain
berdagang dan mengajar di masjid dekat pasar ploso itu, secara periodik mbah
Ma’shum juga sering berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada kiai Hasyim
Asy’ari, yang lahir pada tahun 1871 M, namun hal ini bukan menjadi masalah bagi
beliau. Dan inilah yang secara khusus ciri khas beliau yang paling menonjol, yaitu
suka mengaji dan belajar kepada orang lain sekalipun beliau telah “menjadi”
kiai dan orang yang beliau datangi terkadang berusia lebih muda.
MENDIRIKAN
PESANTREN DAN MENGURUS SANTRI
v Berawal dari mimpi
Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad, dan
mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar.
Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa kali.
Suatu saat, beliau sedang berada di sebuah tempat di semarang, kala
tidur beliau mimipi bertemu dengan kanjeng Nabi Muhammad, saat itu juga beliau
bangun dan berfikir bahwa tempat beliau menginap itu bukanlah tempat yang muhtarom,
beliau memang belum sepenuhnya percaya bahwa yang ada dalam mimpi beliau
adalah kanjeng Nabi, tetapi beliau sangat menyadari bahwa semua nasihat yang
ada dalam mimpi itu benar, tepat dan sesuai realitas.
Mbah Ma’shum juga pernah bermimipi di mushola depan ndalem dan
sempat bersalaman dengan Nabi, setelah bangun tangan beliau masih bau wangi,
pada saat itu Kanjeng Nabi sedang membawa list sumbangan untuk pembangunan
pondok pesantren. Kanjeng Nabi waktu itu berpesan: mengajarlah..., dan
segala kebutuhan insya Allah akan di penuhi semuanya oleh Allah. Akhirnya beliaupun
membangun sebuah tempat sebagai pusat pendidikan yang berdiri pada tahun 1334
H/1916 M, dalam bentuk mushola beberapa ruang sederhana untuk para santri dan
akhirnya beliau memberi nama pondok pesantren Al-Hidayat. Pada awal-awal
mengasuh pesantren mbah Ma’shum pernah mengalami masa mendidik santri waktu itu
berjumlah sekitar 26 santri.
v Metode Mbah Ma’shum dalam mendidik santri
Soal memberikan perhatian kepada santri, mbah ma’shum ini adalah
satu dari sekian tokoh yang memiliki perhatian sangat besar. Atensi mbah
Ma’shum kepada para santrinya sangat istimewa, figur beliau mencerminkan seorang
guru sekaligus orang tua. Mulai ketika santri datang ke pondok, masa belajar,
hingga santri kembali ke masyarakat pun selalu mendapatkan atensi dari beliau. Di
mata santri-santrinya, mbah Ma’shum adalah orang yang sangat istiqomah dalam
mendidik santri, mulai dari membangunkan tidur, memimpin jama’ah hingga melaksanakan
pengajian-pengajian.
Bukti lain tentang betapa besar perhatiannya kepada santri adalah
saat beliau mendapati seorang santri sedang membaca kitab kuning, maka beliau
menyempatkan diri untuk mendengarkannya, hal ini tidak lain untuk memberikan
semangat kepada santri, dengan cara memberikan koreksi. Ada satu hal yang
dimiliki oleh mbah Ma’shum dalam mendidik santri-santrinya, bahwa beliau tidak
memberlakukan pengajian dengan model kelas. Beliau memberlakukan pengajian umum
kepada para santrinya. Cara pengajaran yang beliau lakukan adalah sistem bandongan
dan sorogan. Sistem bandongan adalah pengajian umum atau
terbuka yang diikuti oleh seluruh santri, sedangkan sorogan adalah
sebuah sistem dimana seorang santri membaca kitab kuning satu persatu di
hadapan kiai.
PERAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
v Berjuang bersama komunitas NU
Mbah Ma’shum yang tekun dan
konsisten dalam bidang pendidikan umat membawa beliau kedalam golongan atau
jama’ah ulama’-ulama’ agung. Dari realitas ini sangat pantas jika sejarah
mencatat bahwa mbah Ma’shum juga berperan didalam pendirian organisasi NU.
Beliau sangat mencintai jam’iyah NU. Bahkan terlalu cintanya,
beliau pernah menyatakan bahwa dirinya tidak ridho jika anak keturunannya tidak
NU. Beliau juga pernah mengatakan bahwa siapa saja yang berkhidmah kepada NU,
Insya Allah akan mendapatkan berkah dari Allah.
HUBUNGAN KEMANUSIAAN
v Atensi Mbah Ma’shum kepada umat
Mbah Ma’shum adalah adalah orang yang bisa di katakan sempurna dan
utuh, maksud sempurna dan utuh di sini adalah beliau mampu menyesuaikan diri
dengan kebutuhan umat pada zamannya. Misalnya masyarakat memerlukan bimbingan
perihal politik maka mbah Ma’shum dengan apa adanya turut pula memiliki
kepedulian politik.
Mbah Ma’shum adalah orang yang senantiasa memberikan pelajaran
keagamaan dimana saja berada, bahkan dalam perjalanan bepergian, baik di bis
atau di terminal. Mbah Ma’shum juga
menjadi orang yang memiliki kewibawaan tinggi dalam komunitas Thariqah, beliau
aktif menghadiri acara-acara perkumpulan Thariqah seperti muktamar.
Hal lainnya lagi adalah keistiqomahannya yang tidak hanya dalam hal
mendidik santri, tetapi juga misalnya menjalin silaturrahim, bentuk jalinan
silaturrahim tersebut tidak hanya di peruntukkan kepada orang-orang islam saja,
melainkan juga kalangan non-muslim.
KONTEKSTUALITAS
PEMIKIRAN
v Perubahan-perubahan pandangan fiqh
Ditinjau dari persepektif tertentu, pemikiran mbah Ma’shum tidak
berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya, sangat teguh memegang syari’at
dan secara spesifik fiqh syafi’i. Beliau bisa saja mempraktikkan fiqh hanafi,
misalnya karena beliau juga menguasainya. Akan tetapi hal itu tidak di lakukan
dan lebih tertarik untuk mengembangkan pemikiran fiqh syafi’i. Hal itu terjadi
pada kasus mahramiyah, dimana
beliau sering menikahkan seseorang dengan kerabatnya supaya menjadi
mahram dengan dirinya. Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau
bertemunya laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram.
Ulama’ NU, pada muktamar ke-10 tahun 1935 di surakarta, memfatwakan
bahwasannya hukum mendengarkan radio sama dengan hukum mendengarkan suara
aslinya. Artinya jika suara aslinya adalah suara yang di perbolehkan maka
hukumnya pun boleh. Tetapi, jika yang di dengarkan adalah suara-suara yang
mengajak untuk kemaksiatan, seperti lagu-lagu kemaksiatan misalnya maka hal
tersebut tidak di perbolehkan.
Mbah Ma’shum pada waktu itu tidak main-main dalam mengharamkan
radio. Di ceritakan bahwa suatu kali mbah Ma’shum bertamu ke seseorang dan
mendapati tuan rumah sedang menyetel radio, tanpa di tunda beliau langsung
menegur tuan rumah itu. Mengapa selama itu mbah Ma’shum cenderung mengharamkan,
tidak lain karena radio yang ada lebih sering di ketahui memperdengarkan
lagu-lagu yang kurang senafas dengan syari’at islam atau bahkan bertentangan.
WARISAN
MBAH MA’SHUM
Mbah Ma’shum adalah salah seorang yang sangat suka dan amat kagum
dengan bait-bait syair yang ada pada qashidatul burdah karangan imam
muhammad Al-Bushiri. Beliau menganggap bahwa syair-syair yang ada pada qashidatul
burdah itu sangat sempurna, baik dari sisi material maupun redaksional,
demikian ini juga pandangan ulama’. Melihat status imam Bushiri seperti itu,
amat wajar jika mbah Ma’shum dalam kehidupannya menganjurkan santrinya dan umat
islam untuk senantiasa membaca Al-Burdah, dan khususnya potongan sya’ir
seperti berikut:
هو
الحبيب الذي ترجى شفاعته لكلّ هول من
الآهوال مقتحم
Pesan Mbah Ma’shum satu bait diatas supaya di baca setiap hari 1000
kali tanpa terkait waktu. Maksudnya boleh di cicil, yang penting selama satu
hari berjumlah 1000 kali. Hanya saja, kepada santrinya beliau menyuruh
membacanya setiap habis shalat maghrib.
Mbah Ma’shum ketika memimpin istighotsah beliau membaca
potongan sya’ir al-burdah:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الحَاد ث العَمَمِ
Sya’ir Al-Burdah tersebut di baca sebanyak kurang lebih 80
kali.
Selain hal-hal tersebut di atas, beliau juga sangat suka dengan Qashidatul
Munfarijah dan sering membacanya dengan didampingi mbah Nuri
قَدْ اذَنَ لَيْلُكِ بِالْبَلَجِ
|
إِشْتَدّي أَزْمَةُ تَنْفَرِجِى
|
حَتَّى يُغْشَهُ أبو السُّرج
|
وَظَلَا مُ اللَيْلِ لَهُ سُرُجٌ
|
فَإِذا جاء الإبانُ تَاجي
|
وَسَحَا بُ الخَيْرِ لَهُ مَطَرٌ
|
لِسُرُورِ الأنْفُسِ والمُهَجِ
|
وفوايد مَولانَا جُمَلٌ
|
MBAH
MA’SHUM WAFAT
Kesehatan mbah Ma’shum turun
drastis, terhitung sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April 1972, jam
2 siang. Hal ini terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Pada
tanggal 17 September 1972, atas inisiatif dari subhan ZE, mbah Ma’shum di bawa
ke rumah sakit dr.Karyadi semarang, selama 10 hari, dia diobati di sana,
dibawah pengawasan dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam) dan dr. Chamidun.
Hampir satu bulan setelah keluar dari rumah sakit tepatnya pada
hari jum’at, tanggal 12 Ramadhan 1932 H, atau tanggal 20 oktober 1972 M, dalam
keadaan di papah, beliau masih menyempatkan diri untuk shalat jum’at di masjid
jami’ lasem. Hari itu, adalah hari sekaligus shalat jum’at terakhir baginya,
beliau shalat jum’at di dalam mobil yang di parkir di halaman masjid. Setelah
shalat jum’at, beliaupun kembali ke ndalem dan akhirnya wafat pada hari
itu, jam 2 siang. Beliau pernah dhawuh, jika nanti wafat supaya makamnya
di buat seperti makamnya Habib Ahmad bin Thalib bin Abdullah Pekalongan.
Segenap anggota keluarga dan para kiai, para alumni, serta para
wali santri, yang berada di luar lasem segera menjadwalkan diri untuk pergi ke
lasem guna memberikan penghormatan terakhir kepadanya.
Pada hari juma’t itu juga, sekitar pukul 16.00, jenazah mbah
Ma’shum di mandikan oleh beberapa orang, keesokan harinya, sabtu tanggal 13
Ramadhan 1932 H/20 Oktober 1972 M, jenazah di makamkan di pemakaman masjid
jami’ lasem, jam 14.30.
SILSILAH MBAH MA’SHUM
Kanjeng Nabi Muhammad
Sayyidah Fathimah Mbah
Ahmad Mbah Ma’shum
Sayyid Husain Abdul
Karim
Ali Zainal Abidin Mbah
Zaid
Muhammad Al-Baqir Syaikh
Jarum
Ja’far As-Shodiq Sayyid
Muzaid
Ali Ar-Ridho Sunan
Sunongko
Ahmad Muhajir Sunan
Jejuruk
Abdullah Abdurrahman
(sultan Minangkabau)
Alwi Ainul
Yaqin (Sunan Giri)
Muhammad Maulana
Ishaq
Alwi Maulana
Ibrahim
Muhammad Jamaluddin
Ali Ahmad
Syah
Alwi Abdullah
Khan
Abdul Malik Abdul
Malik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar