Shalat jama’ah merupakan salah
satu aktifitas spiritual dalam Islam. Shalat jama’ah memiliki status
hukum yang masih terjadi perselisihan, ada yang mengatakan sunnah ‘ain,
sunnah kifayah, fardu ‘ainm dan fardu kifayah. Sehingga, ketika shalat
tersebut hukumnya ditentukan oleh suatu komunitas menjadi fardu ‘ain,
masih ada yang membangkang karena berasalan, hokum shalat jama’ah belum
jelas. Bagi mereka yang tidak melaksanakan solat jama’ah, sebenarnya
tidak hanya itu alasannya, mungkin ada alasan lain yang membuat mereka
tidak semangat melaksanakannya.
Untuk memantapkan pemahaman kita
tentang shalat jama’ah yang kemudian membuat kita semangat untuk
melaksanakannya, berikut wawancara kami yang inysaallah akan
menjadi pendoron semangat untuk melaksanakan shlata jama’ah. Wawancara
ini dilakukan bersama salah seorang pakar hukum Islam, KH. Afifuddin
Muhajir, M.Ag. yang berasal dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah
Sukorejo, Situbondo. Beliau salah satu dosen senior di Ma’had Ay dan
sebagai salah satu Katib Syuriah PBNU, yang sering mengisi berbagai
acara dan forum di tingkat Nasional bahkan internasional. Beliau juga
dikenal dengan pemikirannya yang mampu memutuskan hukum yang relevan
dengan situasi dan kondisi. (shalih fi amkinah wa azminah).
1. Hukum shalat jama’ah
cukup beraneka ragam, ada yang sunnah ‘ain, sunnah kifayah, fardlu ‘ain,
dan fardlu kifayah. Apa saja yang melatar belakangi perbedaan hukum
tersebut ?
Perbedaan itu merupakan Salah
satu karakter dalam Fiqh. Termasuk juga dalam hukum shalat jama’ah. Ada
dua hal yang melatar belakangi perbedaan hukum tersebut:
- Perbedaan dalam menggunakan dalil
- Perbedaan Fuqaha’ dalam memahami dalil
Tetapi Saya sendiri memiliki kecenderungan bahwa hukum shalat jama’ah itu fardhu kifayah. Itu tengah-tengah.
2. Ada sebuah komunitas,
katakanlah seperti pesantren, memberlakukan shalat jamaah secara wajib
‘ain. Yang menjadi masalah bagi kami tentang sanksinya, yaitu bagi yang
tidak melakukan shalat jama’ah disanksi berupa dijemur, dikenai skor,
bahkan jika dianngap keterlaluan sanksingnya dikeluarkan dari komunitas
itu (pesantren). Siapa sesungguhnya yang berhak menentukan sanksi itu,
Allah atau manusia? Dan bagaimana dengan sanksi tersebut?
Ini hubungannya antara hukum
positif dan hukum syari’at. Hukum syari’at adalah hukum yang diambil
daril al-Qur’an dan Hadits. Hukum positif, hokum yang dibuat oleh
manusia, baik yang bersifat internasional, regional atau lokal.
Aturan-aturan pesantren ini termasuk hukum positif.
Hukum positif kaitannya dengan hukum syari’at itu ada beberapa macam:
- Hukum positif yang wajib dita’ati
- Hukum positif yang haram dita’ati
- Hukum positif yang boleh dita’ati dan boleh tidak dita’ati
Sebagaimana dalam kitab dikatakan:
وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إذَا أَمَرَ
بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوبُهُ ، وَإِنْ أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ وَجَبَ ،
وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ فَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ
شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ ، بِخِلَافِ مَا إذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ
مَكْرُوهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ عَامَّةً
Kesimpulan dari perkataan
tersebut bahwa ketika pemerintah memerintah untuk melakukan sebuah
kewajiban maka kewajiban itu makin kuat. Jika memerintah untuk melakukan
sesuatu yang sunnah maka kesunnahan itu menjadi wajib. Dan jika
menyuruh untuk melakukan sesuatu yang mubah menurut islam akan tetapi
hal itu bisa mewujudkan kemaslahatan umum maka yang mubah tersebut
menjadi wajib.
Jadi pesantren ini sama dengan
Negara. Contoh pencatatan nikah. Pencatatan nikah dalam syariat tidak
diwajibkan, akan tetapi Negara mewajibkan apakah wajib ditaati? Dilihat
dulu, kalau pencatatan nikah itu mengandung maslahah maka wajib
mentaati. Dengan demikian, jika pesantren mewajibkan shalat jamaah yang
semula disunnahkan maka jadi wajib.
Tentang sanksinya, itu yang menjadi persoalan.
3. Shalat jamaah
sebagai spritual keagamaan pasti memiliki nilai ukhrawi, namun adakah
nilai duniawi yang nampak nyata (dalam kehidupan manusia), baik dari
sisi individual ataupun sosial ?
Shalat jama’ah tidak menjanjikan
kepentingan dunia, akan tetapi secara tidak langsung bisa saja dengan
berkahnya shalat jama’ah akan memperoleh kepentingan-kepentingan dunia.
Dengan shalat jama’ah masyarakat bisa saling bertemu di masjid atau di
mushalla. Dengan pertemuan di masjid atau di mushalla mereka punya
kenal-kenalan dan kalau orang punya kenal-kenalan itu
persoalan-persoalan yang sulit menjadi mudah, termasuk urusan-urusan
dunia. Dengan berkahnya sering ketemu dengan orang di masjid atau di
mushalla maka di punya relasi-relasi, itu kan kepentingan dunia yang tak
langsung.
4. Walapun shalat jamaah
mendapatkan derajat 27, namun hal itu tidak menggiurkan masyarakat
untuk melaksanakan shalat jamaah. Sehingga, masjid-masjid yang cukup
mewah hanya menjadi tontonan bagi orang-orang yang berlalu-lanag di
sekitarnya. Bagaimana cara kita mengajak mereka untuk melaksanakan
shalat jamaah?
Mungkin lebih penting dari pada
shalat jama’ah adalah shalat itu sendiri, bagaimana cara kita
menyadarkan masyarakat muslim agar mereka melaksnakan
kewajiban-kewajiban agamanya, terutama kewajiban shalat. Barang kali
kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak orang-orang Islam yang tidak
melaksanakan lima waktu. Jangankan jama’ah, shalat sendirianpun tidak.
Itu yang paling penting.
Yang kedua shalat jama’ah. Oleh
karena itu sering dikatakan bahwa kaum muslimin hanya mampu membangun
fisik; membangun masjid dan gedung-gedung, tetapi tidak mampu membangun
manusia. Banyak masjid-masjid yang mentereng tapi kosong atau ada
jama’ahnya tetapi jama’ahnya tidak berkualitas, imamnya tak karuan dan
seterusnya. Jadi kesimpulannya, kita hanya mampu membangun gedung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar