BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai orang yang berpikir (filsafat) sudah tentu ia memiliki
pemikiran bagaikan dua sisi mata uang, baik dan buruk sehingga dalam ilmu
filsafat dikenal nama etika, yakni aturan untuk membedakan baik dan buruk.
Demikian pula pada aplikasinya, seorang ilmuwan dalam kehidupan sehari-hari
seakan dituntut untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, baik
saat berpikir maupun bertindak.Dalam sebuah riwayat dikatakan “Al adabu fauqal
‘ilmi” (Adab itu lebih tinggi daripada ilmu).
Benar bahwa perbuatanya mempunyai tujuan langsung, tetapi apakah manusia
secara total tau secara keseluruhan, mempunyai tujuan? Supaya apa yang di
kehendaki bisa tercapai, kita juga harus tau etika dalam hidup, cara berfikir
yang baik, sikap dan ucap yang baik. Di makalah ini sudah dijelaskan berbagai hal tentang etika keilmuan dalam
filsafat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Etika Keilmuan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
Etika
Pragmatis Dalam Pendidikan Islam?
3.
Bagaimana
Positivisme Dalam Etika Keilmuan?
4.
Bagaimana
Etika
Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam
2.
Untuk
mengetahui Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam
3.
Untuk
mengetahui Positivisme Dalam Etika Keilmuan
4.
Untuk
mengetahui Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika Keilmuan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam.
Etika merupakan istilah
yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.
Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan
rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu
perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas
atau tidak pantas untuk dikerjakan.[1]
Menurut
Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya yang berjudul Tahdzib Al-Akhlak,
dia mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus
untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar terorganisasi dan
tersistem.[2]
Moral, etika atau
akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong
untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu
yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang
berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak
yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak
yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan
untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa
kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan
jiwa manusia.[3]
Menurut
Aristoteles tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagian, kebahagiaan
manusia akan dapat diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan, pertama,
melalui sifat pertengahan antara mengikuti dorongan
sifat
kebinatangan dan kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang berada
dibawah bimbingan akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi pada pengguna akal dalam
melakukan penelitian ilmu pengetahuan dan merenungkan tentang kebenaran.
Sedangkan
menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang
mencangkup penanaman kualitas moral dan etika kepatuhan,kemanusiaan,
kesederhanaan dan membenci hal-hal yang buruk seperti melanggar perintah atau
kehendak tuhan.[4]
Etika dalam kajian filsafat merupakan
bagian dari aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai
dalam segala sesuatu. Sedangkan dalam ontologi dipertanyakan apa hakekat
sesuatau, dalam epistimologi dipertanyakan bagaimana sesuatu itu terjadi dan
dari mana sesuatu itu ada, maka dalam aksiologi dipertanyakan mengenai tujuan
dari hakikat sesuatu. Misalnya, tentang pendidikan islam maka muncul
pertanyaan, apa pendidikan islam itu? Mengapa pendidikan islam diperlukan?
Untuk apa ada pendidikan islam?[5]
B. Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam
Aliran pragmatis timbul pada abad 20.Pendiri aliran
ini adalah Charks E. Peirce. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang
memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan(terus-menerus
berubah).
Berbicara
tentang etika keilmuan, apabila digunakan perspektif pragmatisme, etika
keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika pragmatism.Pragmatisme berasal
dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu
ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme
berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki
fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Pendidikan agama Islam adalah bagian dari tugas agama
maka mengajarkan pendidikan islam adalah kebenaran.
Pragmatisme
menurut para filsuf-filsuf yang terkenal sebagai berikut:
Menurut William
James dan John Dewey, filsafatnya diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran
yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari
akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang kita anggab benar dalam perkembangan pengalaman
itu senantiasa berubah karena didalam praktik. Menurut Jemes, dunia tidak dapat
diterangakan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan tentang
kepercayaan agama.
Dalam filsafat Islam,
pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak
didik yang bertaqwa kepada Allah SWT, berkepribadian luhur, berpengetahuan yang
luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.Agar anak didik
memiliki keahlian duniawi dan ukhrowi, dan keduanya bisa memberikan keuntungan.
Menurut John
Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nayata.
Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.
Secara umum,
pargmatisme berarti hanya ide yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna.
Apabila filsafat Islam berkiblat pada pandangan Pragmatime John Dewey, tujuan
yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata,
bukan hal yang diluar jangkauan panca indra.
Etika keilmuan
berkaitan pula dengan kode etik bagi para pendidik (guru).[6] Maksud dari kode etik guru di sini
adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship)
antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah); guru dengan sesama guru; guru
dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan
pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk mengatur
hubungan-hubungan tersebut. [7]
Dalam perspektif islam, pendidikan etika
juga membahas pula masalah yang berkaitandengan substansi etika yang dimiiki
oleh dunia pendidikan Islam, terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah.
2. Keilmuan yang berbasis kepada pola pendidikan tradisional Islam.
3. Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
4. Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama
Islam.
C. Positivisme Dalam Etika Keilmuan
Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan
tidak dapat terlepas dari pandangan
positivisme, selain pragmatisme di atas. Positivisme di perkenalkan oleh Aguste Comte(198-1857)
yang bertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de Philosophic
Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (180-1842), selain itu karyanya
yang pantas disebutkan di sini adalah Discour L’esprit Positive(1844) yang
artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Positivisme
berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan factual,
yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita
tidak boleh melebihi fakta-fakta.Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris
menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.Oleh karena itulah, Positivisme menolak cabang filsafat metafisika.[9]
Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan
mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan indrawi. Hukum itu menyatakan
bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup. Tahap-tahap ini
ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, Teologis, metafisik, dan
positif.
·
Tahap
teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, karena
bentuk pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi bahwa semua
benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri.
·
Tahap
metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan
metafisik, tahap ini ditandai dengan hukum-hukum alam yang asasi dan dapat
ditemukan dengan akal budi.
·
Tahap
positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu bersifat sementara, dan pengetahuan
dapat ditinjau kembali dan di perluas.
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat
diambil pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus berkembang tidak selamanya
hierarkis sistematis sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran Islam
tidak dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan pada dua etika
yang paling mendasar, yaitu :
1. Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada sang
pencipta.
2. Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana
Allah yang tertuang dalam wahyu-Nya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Apabila
pendidikan islam menganut paham ini, tidak akan dibahas
segala hal yang berhubungan dengan
metafisikal, apalagi yang supranatural. Akan tetapi, etika keilmuan yang
dibangun oleh filsafat pendidikan islam tidak menganut paham positivisme, meskipun menerima kebenaran yang menggunakan
paham tersebut. Dalam islam, kebenaran yang
hakiki hanya kebenaran Tuhan, selain kebenaran Tuhan, hanyalah kebenaran yang
nisbi. Akan tetapi, setiap kebenaran nisbi diyakini oleh umat Islam sebagai
cara menuju kebenaran hakiki.[10]
D. Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan
Humanisme
Istilah Renaissance berasal dari bahasa perancis yang berarti
kebangkitan kembali.Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Jules
Michelet.Menurutnya, Renaissance adalah periode penemuan manusia dan dunia,
bukan sekedar kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.
Awal mula
suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes (1596-1650).Sejak
saat permulaan Renaissance, individualisme dan humanism telah
dicanangkan.Descartes memperkuat ide-ide ini.Humanisme dan individualisme
merupakan cirri Renaissance yang sangat penting.Humanisme ialah pandangan bahwa
manusia mampu mengatur dunia dan dirinya.
Pada abad
pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur
berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat
manusia.
Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya
dari agama.Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji,
dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan
terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita dan
berusaha mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya” atau “ apa yang kini ada” menjadi “apa yang
seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan dirinya sendiri pula.
Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah etika
meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan
berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan
perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah perubahan.
Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang
kemuliaan manusia karena Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya dalam surat
At-Tin ayat 4-5 :
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِين . لَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya :
“ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S.
At-Tin : 4-5)
Yang menyebabkan kemulyaan manusia terjaga
dan harkat martabatnya tetap tingi adalah keilmuannya yang dapat membangun
keimanan dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tin ayat 6:
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ
مَمْنُونٍ
Artinya :
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh, maka bagi mereka, pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S. At-Tin : 6)
Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi
oleh tiga macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicorus, Stoa, dan Skeptis. Epicorus yang mendirikan sekolah filosofi
lahir di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 217 SM
dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicorus, ajaran etiknya adalah mencari
kesenangan, tujuanya memperkuat jiwa
untuk menghadapi semua keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari
Kition (133-266 SM).Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di
Athena pada tahun 264 SM ia mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan petunjuk
tentang sikap sopan santun dalam kehidupan.Tujuanya menyempurnakan moral
manusia.
Yang terakhir adalah aliran Skeptis.Skeptis
artinya ragu-ragu.Keragu-raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi
keyakinan.Sekolah yang dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah aliran Pyrrhon
dari Elis.Pyrrhon sendiri lahir tahun 360 SM dan meninggal dunia pada tahun 270
SM.[11]
Itulah beberapa
pandangan tentang etika yang nantinya akandianut oleh para filsuf dan bisa jadi
oleh ilmuan. Lalu dimana letak atau posisi etika keilmuan dalam konteks
pendidikan islam ? dalam perpektif filsafat pendidikan islam, etika keilmuan
yang harus dibangun adalah sebagai berikut:
1.
Semua
ilmu bersumber dari Alloh SWT. Karena Alloh Robbul “alamin.
2.
Semua
ilmu wajib digali dan dicari sebanyak mungkin karena islam mewajibkan mencari
ilmu sejak manusia dari buaian hingga keliang lahat.Sabda Nabi SAW :
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ
“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori)
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ
طَرِيْقًا إلَى الجَنَّةِ
“Barang
siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai ilmu, maka Allah memudahkan baginya
jalan menuju surga.”. (HR. Muslim)[12]
3.
Setiap
ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup.
4.
Setiap
ilmu yang dimiliki harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan menolong
orang-orang yang masih bodoh atau awam.
5.
Setiap
ilmu yang dimiliki harus disebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Firman Allah:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَاب
“Katakanlah: ‘Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar:
9)[13]
6.
Setiap
ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam mempertahankan
kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadzorotan.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etika adalah
suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Etika dalam kajian filsafat
merupakan bagian dari aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang
hendak dicapai dalam segala sesuatu
Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan
nyata. Etika keilmuan yang menganut
Positivisme akan mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada
fakta-fakta yang Konkret dan indrawi. Sedangkan
Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah etika meterealisme
karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan berakhir
sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan perubahan
abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah perubahan.
B.
Saran
Bagi para pendidik pada khususnya, sebaiknya mengerti bagaimana
etika keilmuan dalam dunia pendidikan islam itu ditinjau dari sudut
filosofinya tidak hanya sekedar
mengerti tapi juga bisa mempraktiknya dalam dunia pendidikan , karena pendidikan yang baik dan benar
(berkualitas) akan memunculkan individu-individu yang beradab dengan begitu
tercipta kehidupan-kehidupan sosial yang bermoral. sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institut-institut tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institut
pendidikan.
[3] Op.Cit
[4] Op.Cit
[5] Drs.
Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia bandung:
2009) hal:97
[8] Drs.
Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia bandung:
2009) hal:100
[10] Ibid
[11] Ibid
[14] Drs.
Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia bandung:
2009) hal:125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar