Senin, 25 Agustus 2014

Etika Keilmuan dalam Filsafat Pendidikan Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sebagai orang yang berpikir (filsafat) sudah tentu ia memiliki pemikiran bagaikan dua sisi mata uang, baik dan buruk sehingga dalam ilmu filsafat dikenal nama etika, yakni aturan untuk membedakan baik dan buruk. Demikian pula pada aplikasinya, seorang ilmuwan dalam kehidupan sehari-hari seakan dituntut untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, baik saat berpikir maupun bertindak.Dalam sebuah riwayat dikatakan “Al adabu fauqal ‘ilmi” (Adab itu lebih tinggi daripada ilmu).

Benar bahwa perbuatanya mempunyai tujuan langsung, tetapi apakah manusia secara total tau secara keseluruhan, mempunyai tujuan? Supaya apa yang di kehendaki bisa tercapai, kita juga harus tau etika dalam hidup, cara berfikir yang baik, sikap dan ucap yang baik. Di makalah ini sudah dijelaskan berbagai hal tentang etika keilmuan dalam filsafat Islam. 
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam?
2.    Bagaimana Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam?
3.    Bagaimana Positivisme Dalam Etika Keilmuan?
4.    Bagaimana Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme?

C.      Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam
2.      Untuk mengetahui Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam
3.      Untuk mengetahui Positivisme Dalam Etika Keilmuan
4.      Untuk mengetahui Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam.
Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat. Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.[1]
Menurut Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya yang berjudul Tahdzib Al-Akhlak, dia mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar terorganisasi dan tersistem.[2]
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.[3]
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagian, kebahagiaan manusia akan dapat diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan, pertama, melalui sifat pertengahan antara mengikuti dorongan
sifat kebinatangan dan kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang berada dibawah bimbingan akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi pada pengguna akal dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan dan merenungkan tentang kebenaran.
Sedangkan menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencangkup penanaman kualitas moral dan etika kepatuhan,kemanusiaan, kesederhanaan dan membenci hal-hal yang buruk seperti melanggar perintah atau kehendak tuhan.[4]
Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala sesuatu. Sedangkan dalam ontologi dipertanyakan apa hakekat sesuatau, dalam epistimologi dipertanyakan bagaimana sesuatu itu terjadi dan dari mana sesuatu itu ada, maka dalam aksiologi dipertanyakan mengenai tujuan dari hakikat sesuatu. Misalnya, tentang pendidikan islam maka muncul pertanyaan, apa pendidikan islam itu? Mengapa pendidikan islam diperlukan? Untuk apa ada pendidikan islam?[5]

B.       Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam

Aliran pragmatis timbul pada abad 20.Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan(terus-menerus berubah).
Berbicara tentang etika keilmuan, apabila digunakan perspektif pragmatisme, etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika pragmatism.Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.


Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Pendidikan agama Islam adalah bagian dari tugas agama maka mengajarkan pendidikan islam adalah kebenaran.
Pragmatisme menurut para filsuf-filsuf yang terkenal sebagai berikut:
Menurut William James dan John Dewey, filsafatnya diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang kita anggab benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah karena didalam praktik. Menurut Jemes, dunia tidak dapat diterangakan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan tentang kepercayaan agama.
Dalam filsafat Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak didik yang bertaqwa kepada Allah SWT, berkepribadian luhur, berpengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.Agar anak didik memiliki keahlian duniawi dan ukhrowi, dan keduanya bisa memberikan keuntungan.
Menurut John Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nayata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.
Secara umum, pargmatisme berarti hanya ide yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna. Apabila filsafat Islam berkiblat pada pandangan Pragmatime John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indra.
Etika keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para pendidik (guru).[6] Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah); guru dengan sesama guru; guru dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut. [7]
Dalam perspektif islam, pendidikan etika juga membahas pula masalah yang berkaitandengan substansi etika yang dimiiki oleh dunia pendidikan Islam, terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.      Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah.
2.      Keilmuan yang berbasis kepada pola pendidikan tradisional Islam.
3.      Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
4.      Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama Islam.
5.      Keilmuan yang mengacu pada doktrin agama Islam dan kebergantungan kepada tokoh agama.[8]
C.   Positivisme Dalam Etika Keilmuan
Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan tidak dapat  terlepas dari pandangan positivisme, selain pragmatisme di atas. Positivisme di perkenalkan oleh Aguste Comte(198-1857) yang bertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (180-1842), selain itu karyanya yang pantas disebutkan di sini adalah Discour L’esprit Positive(1844) yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta.Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.Oleh karena itulah, Positivisme menolak cabang filsafat metafisika.[9]
Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan indrawi. Hukum itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, Teologis, metafisik, dan positif.
·           Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, karena bentuk pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi bahwa semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri.
·           Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan metafisik, tahap ini ditandai dengan hukum-hukum alam yang asasi dan dapat ditemukan dengan akal budi.
·           Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu bersifat sementara, dan pengetahuan dapat ditinjau kembali dan di perluas.
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat diambil pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus berkembang tidak selamanya hierarkis sistematis sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran Islam tidak dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan pada dua etika yang paling mendasar, yaitu :
1.      Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada sang pencipta.
2.      Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana Allah yang tertuang dalam wahyu-Nya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Apabila pendidikan islam menganut paham ini, tidak akan dibahas segala hal yang berhubungan  dengan metafisikal, apalagi yang supranatural. Akan tetapi, etika keilmuan yang dibangun oleh filsafat pendidikan islam tidak menganut paham positivisme, meskipun menerima kebenaran yang menggunakan
paham tersebut. Dalam islam, kebenaran yang hakiki hanya kebenaran Tuhan, selain kebenaran Tuhan, hanyalah kebenaran yang nisbi. Akan tetapi, setiap kebenaran nisbi diyakini oleh umat Islam sebagai cara menuju kebenaran hakiki.[10]
D. Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme
Istilah Renaissance berasal dari bahasa perancis yang berarti kebangkitan kembali.Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Jules Michelet.Menurutnya, Renaissance adalah periode penemuan manusia dan dunia, bukan sekedar kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.
Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes (1596-1650).Sejak saat permulaan Renaissance, individualisme dan humanism telah dicanangkan.Descartes memperkuat ide-ide ini.Humanisme dan individualisme merupakan cirri Renaissance yang sangat penting.Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya.
Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat manusia.
Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari agama.Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji, dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita dan berusaha mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya”  atau “ apa yang kini ada” menjadi “apa yang seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan dirinya sendiri pula.
Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah perubahan.
Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan manusia karena Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya dalam surat At-Tin ayat 4-5 :
 ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِين  . لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya :
“ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”  (Q.S. At-Tin : 4-5)
Yang menyebabkan kemulyaan manusia terjaga dan harkat martabatnya tetap tingi adalah keilmuannya yang dapat membangun keimanan dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tin ayat 6:
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
Artinya :
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka, pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S. At-Tin : 6)
Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi oleh tiga macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicorus, Stoa, dan Skeptis. Epicorus yang mendirikan sekolah filosofi lahir di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 217 SM dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicorus, ajaran etiknya adalah mencari kesenangan, tujuanya memperkuat  jiwa untuk menghadapi semua keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133-266 SM).Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di Athena pada tahun 264 SM ia mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan petunjuk tentang sikap sopan santun dalam kehidupan.Tujuanya menyempurnakan moral manusia.
Yang terakhir adalah aliran Skeptis.Skeptis artinya ragu-ragu.Keragu-raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan.Sekolah yang dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah aliran Pyrrhon dari Elis.Pyrrhon sendiri lahir tahun 360 SM dan meninggal dunia pada tahun 270 SM.[11]
Itulah beberapa pandangan tentang etika yang nantinya akandianut oleh para filsuf dan bisa jadi oleh ilmuan. Lalu dimana letak atau posisi etika keilmuan dalam konteks pendidikan islam ? dalam perpektif filsafat pendidikan islam, etika keilmuan yang harus dibangun adalah sebagai berikut:
1.      Semua ilmu bersumber dari Alloh SWT. Karena Alloh Robbul “alamin.
2.      Semua ilmu wajib digali dan dicari sebanyak mungkin karena islam mewajibkan mencari ilmu sejak manusia dari buaian hingga keliang lahat.Sabda Nabi SAW :

أُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ

“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori)

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.”. (HR. Muslim)[12]
3.      Setiap ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup.
4.      Setiap ilmu yang dimiliki harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan menolong orang-orang yang masih bodoh atau awam.
5.      Setiap ilmu yang dimiliki harus disebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum.



Firman Allah:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَاب

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)[13]
6.      Setiap ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam mempertahankan kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadzorotan.[14]












BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Etika adalah suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala sesuatu
Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan indrawi. Sedangkan Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah perubahan.

B.       Saran
Bagi para pendidik pada khususnya, sebaiknya mengerti bagaimana etika keilmuan dalam dunia pendidikan islam itu ditinjau dari sudut filosofinya   tidak hanya sekedar mengerti tapi juga bisa mempraktiknya dalam dunia pendidikan  , karena pendidikan yang baik dan benar (berkualitas) akan memunculkan individu-individu yang beradab dengan begitu tercipta kehidupan-kehidupan sosial yang bermoral. sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institut-institut tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institut pendidikan.


[3] Op.Cit

[4] Op.Cit
[5] Drs. Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia bandung: 2009) hal:97
[8] Drs. Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia bandung: 2009) hal:100
[10] Ibid
[11] Ibid
[14] Drs. Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia bandung: 2009) hal:125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar