BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Fakta-data menunjukkan bahasa Arab sudah
mulai dikenal sejak masuknya Islam ke wilayah tanah air nusantara. Bagi bangsa
Indonesia khususnya umat islam bahasa Arab bukanlah bahasa asing karena
muatannya menyatu dengan kebutuhan umat islam, saynagnya sikap dan pandangan
sebagian kaum muslim Indonesia masih beranggapan, bahasa Arab hanyalah bahasa
agama, sehingga perkembangan bahasa Arab terbatas di lingkungan kaum muslimin
yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama. Hanya lingkungan kecil yang
menyadari betapa bahasa Arab-selain sebagai bahasa agama- merupakan bahasa Ilmu
pengetahuan dan sain yang berhasil melahirkan karya-karya besar ulama di
berbagai bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan sastra. Karena itu tidaklah
berlebihan bila dikatakan, bahasa Arab merupakan peletak dasar bagi pertumbuhan
ilmu pengetahuan modern yang berkembang cepat dewasa ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan bahasa
Arab di Indonesia?
2. Apa metodologi
pembelajaran bahasa Arab di Indonesia?
3. Bagaimana permasalahan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Bahasa arab di Indonesia[1]
Sejarah perkembangan bahasa Arab di
Indonesia dimulai sejak masyarakat Indonesia mulai memeluk Islam. Dalam hal ini
bahasa Arab dipelajari semata-mata sebagai alat untuk mempelajari dan memperdalam
pengetahuan Islam, baik disurau, masjid, pondok pesantren, maupun
madrasah-madrasah. Sejak zaman penjajahan Belanda, banyak sekali mahasiswa
Indonesia yang melanjutkan di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah. Mereka pada umumnya,
mempelajari bahasa Arab bukan semata-mata sebagai alat, melainkan sebagai tujuan.
Karena itu, setelah studi mereka berhasil, banyak diantara mereka yang
tergolong ahli bahasa Arab dan mampu menggunakan bahasa Arab secara aktif
karena menguasai empat segi kemahiran bahasa : menyimak (mendengar),
berbicara, dan menulis.
Setelah mereka pulang ke tanah air,
mereka mengusahakan pembaharuan metode untuk pengajaran bahasa Arab. Dengan
metode tersebut, mereka berhasil menumbuhkan pengertian bahwa bahasa Arab
(Fusha) perlu- untuk tidak menyebut harus- dipelajari juga sebagai tujuan,
yakni untuk membentuk ahli-ahli bahasa Arab dan menghasilkan alumni yang mampu
menggunakan bahasa Arab secara aktif sebagai alt komunikasi untuk berbagai
keperluan. Setelah pengertian dan kesadaran tersebut meluas, para ahli bahasa
arab di Indonesia terdorong untuk segera mengajarkan bahasa Arab untuk melalui metode yang waktu itu dianggap terbaru dan paling sesuai agar bahasa Arab dipelajari juga sebagai
tujuan (baca: sebagai kebutuhan), selain sebagai alat. Pengertian bahasa Arab
dengan metode dan untuk tujuan tersebut sudah mulai dilaksanakan dibeberapa
madrasah, baik di Sumatra- seperti madrasah at Thawalib-dan di Jawa- seperti
pondok Darussalam Gontor (Ponorogo)
Pengajaran bahasa Arab (Fusha) yang
dipelajari di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai dua tujuan.
Pertama, Sebagai alat untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan Islam
seperti di madrasah-madrasah (negeri atau swasta), pondok pesantren, dan
Perguruan Tinggi Agama Islam (negeri atau swasta).
Kedua, sebagai tujuan, yaitu membentuk tenaga-tenaga ahli bahasa arab atau
untuk menghasilakan alumni yang mampu menggunakan bahasa Arab secara aktif
sebagai alat komunikasi untuk berbagai keperluan.
Secara umum, penerapan metode pembelajaran bahasa Arab yang
dikembangkan dipesantren- pesantren dan
lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi Islam masih menitikberatkan pada
metode gramatika – terjamah. Ini terbukti dari ciri-ciri khusus yang telah
dikembangkan, sebagai berikut.
Pertama, pemberian
keterangan kaidah-kaidah tata bahasa oleh para pengajar dan penghafalan
kaidah-kaidah tersebut oleh para pelajar
Kedua, penghafalan
kata-kata tertentu yang kemudian dirangkaikan menurut kaidah-kaidah tata bahasa
yang berlaku.
Ketiga, kegiatan
kegiatan menerjemahkan kata demi kata, dan kalimat demi kalimat dari bahasa
Arab ke bahasa pelajar dan sangat kurang sebaliknya yakni dari bahasa pelajar
ke dalam bahasa Arab.
Keempat, latihan untuk
kemahiran menggunakan bahasa secara lisan sangat kurang, kalaupun diberikan,
frekuensinya hanyalah sesekali dengan cara-cara yang membosankan karena tidak
ada variasi.
Kelima, kurang
menggunakan alat peraga atau alat bantu yang dapat didengar-dilihat
(audio-visual aids). Gambar yang digunakan bersifat ilustrasi dari pada untuk
pengajaran.
Keadaan
ini menunjukkan, lulusan lembaga-lembaga pendidikan agama itu masih produk
pengajaran bahasa Arab yang didasarkan
atas informating approach dan metode gramatika tarjamah. Padahal approach dan
metode terhadap kurikulum bersifat disintegrasi, yakni tidak mempunyai hubungan
yang erat antara pelajaran bahasa Arab dengan mata ajar lainnya. Mata ajar
bahasa Arab dipecah –pecah secara tajam
dalam bagian yang terpisah-pisah, sedangkan kemahiran bahasa tidak diberikan.
Dengan perkataan lain, pelajaran bahasa Arab disampaikan lebih bersifat
teoritis karena lebih mengutamakan
pembentukan ahli ilmu bahasa, bukan pembentukan manusia yang mampu
berbahasa.
C. Permasalahan Pembelajaran Bahasa Arab di Indonesia.
Permasalahan
yang dihadapi dalam pembelajaran bahasa arab di Indonesia seperti bahasa asing
lainnya, meliputi dua hal; permasalahan kebahasaan dan nonkebahasaan.
Permasalahan non kebahasaan ada yang bersifat sosiologis, psikologis,
metodologis dan sebagainya. Adapun permasalahan kebahasaan beerkaitan dengan
unsure-unsur bahasa: tata bunyi, kosa kata tata kalimat, makna dan tulisan.[3]
1.
Permasalahan kebahasaan
Permasalahan
kebahasaan merupakan kesulitan yang dihadapi siswa ketika mempelajari
unsure-unsur bahasa tujuan. Kesulitan itu timbul karena apa yang ada pada
bahasa tujuan sangat atau agak berbeda dengan apa yang ada pada bahasa
pertamanya, baik pada dataran bunyi, kata, struktur, arti, dan tulisan.
Berdasarkan kenyataan itulah ada suatu premis yang menyatakan bahwa mudah
sulitnya belajar bahasa asing bergantung pada perbandingan sistemik antara
bahasa siswa dengan bahasa tujuan. Namun ada pula yang menganggap bahasa ibu
juga dapat mendukung pembelajarab bahasa asing.[4]
2. Permasalahab nonkebahasaan.
Di antara persoalan nonkebahasaan yang sangat penting dan perlu
diungkapkan adalah yang bersifat politis, psikologi, dan metodologis.
Kesemuanya akan dibahas berikut ini:[5]
1) Posisi marjinal bahasa Arab.
Dalam dokumen Politik Bahasa Nasional (PBN) tahun 1975 (masa orde baru),
bahasa arab sama sekali tidak disebut. Dalam rumusan mengenai bahasa asing,
tertulis “Di dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, seperti bahasa Inggris,
Prancis, Jerman, Belanda, dan bahasa lainnya kecuali bahasa Indoonesia dan
bahasa daerah serta bahasa melayu, berkedudukan sebagai bahasa Asing. Kedudukan
ini didasrakan atas kenyataan bahwa bahasa asing tertentu itu diajarkan di
lembaga-lembaga pendidikan pada tingkat tertentu…” Kedudukan Bahasa Arab
seebagai bahasa asing dapat disimpulkan secara implicit dari frasa “dan bahasa
lainnya.” Ditinjau dari fungsinya, bahas asing adalah sebagaI: 1) Alat
penghubung antar bangsa. 2) alat pembantu pengembangan bahaasa Indonesia, dan
3) Alat pemanfaatan iptek untuk pembangunan Nasional.
Fungsi bahasa arab seperti telah dipaparkan sebelumnya sudah cukup
menjadi alasan untuk tidak memarjinalkannya dalam politik bahasa nasional.
Kenyatssn seperti itu tampaknya telah mulai disadari sejak bergulirnya mas
reformasi. Karena itu, di antara rumusan hasil seminar “Politik Bahasa
Nasional” pada tahun 1999 adalah bahwa Bahasa Arab telah didudukkan sebagai
bahas asing kedua setelah bahasa Inggris. Di samping berkedudukan sebagai
bahasa asing, juga dinyatakan sebagai bahasa agama dan budaya Islam.
2) Rendahnya motivasi dan minat kepada Bahasa Arab.
Rendahnya minat dan
motivasi belajar bahasa Arab bisa disebabkan oleh beberapa factor. Antara lain
rendahnya penghargaan kepada bahasa arab
yang menurut effendy, disebabkan oleh banyak hal, baik yang objektif
maupun yang subjektif, misalnya:
a. Pengaruh bawah sadar sebagian orang Indonesia (termasuk yang muslim)
yang merasa rendah diri dengan segala sesuatu yang berbau Islam dan Arab serta
mengagungkan segala sesuatu yang berasal dari Barat.
b. Sikap Islamophobia, yaitu perasaan cemas dan tidak suka terhadap
kemajuan Islam dan umat Islam, termasuk bahasa Arab karena bahasa Arab
dipandang identik dengan Islam.
c. Terbatasnya pengetahuan dan wawasan karena kurangnya informasi yang
disampaikan kepada khalayak mengenai kedudukan dan fungsi bahasa Arab; dan
d. Kemanfaatan bahasa Arab dari tinjauan praktis pragmatis memang rendah
dibandingkan dengan bahasa asing lain terutama bahasa Inggris.
Kalau memang demikian adanya, antusiasme belajar
bahasa arab sebagai alat perlu kiranya untuk ditingkatkan. Hal ini bisa dicapai
melalui dua cara: langsung dan tidak langsung.
Ø Cara langsung adalah dengan memanfaatkan jasa para Ulama’ untuk
menjelaskan arti penting bahasa Arab dalam upaya mempelajari agama Islam,
bekerja di negara Arab dan sebagainya;
Ø Cara tidak langsung. Artinya, ikut serta bersama dai dan ulama
menyemarakkan dakwah, mencarikan peluang kerja di Negara Arab, atau
memanfaatkan pejabat dan pengusaha untuk menarik investasi dari Negara-negara
Arab. Semakin semarak bahasa Arab dipelajari sebagai alat, maka semakin semarak
pula bahasa Arab dipelajari sebagai tujuan dan sebaliknya.
3) Permasalahan metodologis.
a. Rendahnya keahlian guru bahasa Arab.
Keahlian (professionalism) adalah
kualitas dan tindak-tanduk yang merupakan ciri sesuatu profesi atau orang yang
berkeahlian. Adapun profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian (keterampilan) tertentu. Guru yang berkeahlian adalah guru yang
memiliki kualifikasi pendidikan keguruan yang sesuai dengan bidangnya dan
menunjukkan kualitas dan tindak-tanduk yang sesuai dengan tuntunan keahliannya
tersebut. Guru bahasa arab yang professional harus memiliki kualifikasi sebagai
berikut.
Ø Berlatar belakang pendidikan keguruan bahasa Arab.
Ø Memiliki pengetahuan yang memadai tentang bahasa Arab dan mahir
berbahasa Arab.
Ø Memiliki pengetahuan tentangproses belajar-mengajar bahasa Arab dan
mampu menerapkannya dalam pembelajaran.
Ø Memiliki semangat dan kesadaran untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan profesinya sesuai dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan
penelitian terbatas dan pengamatan yang dilakukan Effendy tahun 1991 secara
langsung dilapangan, ditemukanbanyak guru bahasa Arab di jenjang pendidikan
dasar dan menengah yang tidak memenuhi persyaratan profesi. Data yangditemukan
menunjukkan bahwa para guru bahasa Arab
di SMU se-Jawa Timur 33,4 % berpendidikan SLTA atau pesantren. Adapun dari
66,6% yang berpendidikan tinggi hanya 22,2% yang berkualifikasi sarjana pendidikan
bahasa Arab. Keadaan serupa mungkin terjadi di daerah lain (dan besar
kemungkinan di lingkungan madrasah keadaannya lebih parah lagi).
b. Kurang tepatnya pendekatan.
Kalau
kita telusuri perkembangan pembelajaran bahasa Arab terutama yang brkaitan
dengan metode dan pendekatan yang digunakan, mulai dari pengaruh barat di dalam
dunia Islam umumnya dan dunia Arab khususnya , haruslah diakui bahwa tidak
mudah memperoleh refrensi mengenai perkembangan metode pembelajaran bahasa Arab
yang bersifat spesifik (khas bahasa Arab).
c. Ketidaktegasan dalam sumber seleksi materi.
Bahasa Arab fusha dalam
perkembangannya mengalami pergolakan-pergolakan, terutama sekali dari
pengumulannya dengan bahasa Arab ‘ammiyah sampai munculnya bahasa Arab
tengah yang kemudian dinamakan bahasa Arab modern. Kemunculannya ini dapat
meredam pergolakan kebahasaan di kalangan bahasa Arab sendiri. Tetapi
pergolakan tetap berlaku di kalangan muslimin dengan motif belajar bahasa Arab
yang telah disebutkan di depan. Yang mengharuskan mereka menguasai dua bahasa
Arab, klasik dan modern. [6]
Walhasil, tujuan pengajaran bahasa Arab
memiliki dua arah: bahasa Arab sebagai tujuan (memahami kemahiran berbahasa)
dan bahasa Arab sebagai alat untuk menguasai pengetahuan lain dengan
menggunakan wahana bahasa Arab. Di samping itu, jenis bahasa yang dipelajari
meliputi dua bahasa: klasik dan modern. Penggabungan ini di satu sisi memiliki kelebihan, karena
dapat meberdayakan kompetensi peserta didik secara komprehensif. Namun di sisi
lain, melahirkan ketidakmenentuan, karena keterbatasan sel-sel otak peserta
didik untuk mengakomodasi keduanya secara bersamaan. Tuntutan materi yang serba
meliputi dan metodologi yang tentu saja bervariasi untuk sebagian kalangan
dipandang melahirkan kegamangan antara keinginan untuk mempertahankan yang lama
dan menggunakan yang baru.[7]
d. Ketidakpaduan kurikulum.
Perlu diingat bahwasannya bahasa arab
sebenarnya telah diajarkan oleh lembaga pendidikan Islam, pada umumnya sejak
usia taman kanak-kanak walaupun masih sederhana. Tujuan utamanya adalah untuk
membaca Al-Qur’an. Ada pula yang sudah mengenalkan kosakata Arab. Pembelajaran
bahasa Arab secara resmi dimulai sejak anak berada di madrasah tsanawiyah atau
sederajat di lembaga pendidikan Islam. Bahasa arab diposisikan sebagai mata
pelajaran wajib. Di sekolah menengah atas di lembaga pendidikan umum, pelajaran
bahasa Arab masuk dalam bahasa pilihan. Sekali lagi, bahasa Arab diajarkan
sejak SLTP sampai perguruan tinggi.
Tapi
entah mengapa antara kurikulum SLTP/SLTA dengan kurikulum bahasa Arab di
perguruan tinggi tidak terpadu jika dilihat dari penjenjangan yang baik. Mata
pelajaran bahasa Arab (dengan memakai all in one system secara murni)
yang diajarkan selama enam tahun, dengan minimal dua jam pelajaran seminggu (setara
dengan paling kurang 20 sks dalam enam tahun), diulang lagi pelajarannya di
perguruan tinggi, semisal fakultas tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dengan bobot
delapan sks (bandingkan dengan pembelajaran mata kuliah qiro’ah yang hanya
berbobot delapan sks). Kalau saja tidak ada pengulangan seperti itu atau dengan
kata lain adanya keterpaduan kurikulum bahasa Arab, maka keadaannya akan lain.
Lembaga pendidikan akan dapat berbuat lebih banyak dengan adanya waktu yang
tersedia.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Sejarah perkembangan bahasa Arab di Indonesia dimulai sejak masyarakat Indonesia mulai memeluk
Islam. Dalam hal ini bahasa Arab dipelajari semata-mata sebagai alat untuk
mempelajari dan memperdalam pengetahuan Islam. Selain itu banyak sekali mahasiswa Indonesia yang melanjutkan di beberapa
perguruan tinggi di Timur Tengah, mereka mempelajari bahasa arab sebagai tujuan.
Metode pembelajaran bahasa Arab di Indonesia yang dikembangkan dipesantren- pesantren dan lembaga pendidikan, termasuk perguruan
tinggi Islam secara umum masih menitikberatkan
pada metode gramatika – terjamah.
Permasalahan
pembelajaran bahasa arab di Indonesia seperti bahasa asing lainnya,
meliputi dua hal:
1. Permasalahan kebahasaan
Kesulitan
ini timbul karena apa yang ada pada bahasa tujuan sangat berbeda dengan bahasa
pertamanya, baik pada bunyi, kata, struktur, arti dan tulisan.
2. Permasalahab nonkebahasaan:
1) Posisi marjinal bahasa Arab.
2) Rendahnya motivasi dan minat kepada Bahasa Arab.
3) Permasalahan metodologis, meliputi:
Ø Rendahnya keahlian guru bahasa Arab.
Ø Kurang tepatnya pendekatan.
Ø Ketidaktegasan dalam sumber seleksi materi.
Ø Ketidakpaduan kurikulum.
B. Kritik dan Saran.
Mempelajari
dan memahami pengetahuan dan ajaran Islam, yang dengannya seseorang akan
menjadikannya sebagai way of life, dari sumber aslinya tidak mungkin
terjadi kecuali dengan bahasa Arab, meskipun dalam tingkat minimal. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahasa Arab
sebagai bahasa agama Islam. Sedemikian erat dan tak terpisahkan hubungan antara Islam dan bahasa Arab,
peranan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu
pengetahuan menjadi terdesak sehingga kurang dapat perhatian. Karena itu,
peringatan terutama kepada pengajar bahasa Arab “ bangkitkan minat dan gairah
belajar untuk mempelajari bahasa arab” hendaknya terus disosialisasikan dan
dijelaskan. Penjelasan itu harus memuat sejarah perkembangan dan peranan bahasa
Arab terhadap ilmu pengetahuan dunia karena bahsa Arab telah membari sumbangan
besar san memegang peranan sangat
penting dalam percaturan ilmu pengetahuan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Izzan,
Ahmad, 2009, Metodologi Penbelaran
Bahasa Arab,Bndung: Humaniora.
Syakur , Nazri, 2010, Revolusi
Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta: BiPA
[1]Ahmad Izzan, Metodologi
Penbelaran Bahasa Arab, (Bndung: Humaniora, 2009). Hlm. 43-44
[2] Ahmad Izzan, Metodologi
Penbelaran Bahasa Arab, (Bndung: Humaniora, 2009). Hlm. 112-114
[3] Nazri Syakur, Revolusi Metodologi
Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta: BiPA, 2010). Hlm. 57
[8] Nazri Syakur, Revolusi Metodologi
Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta: BiPA, 2010). Hlm. 68-69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar