BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemberlakuan
sistem desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999
tentang otonomi pemerintahan daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada
manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas
kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era
kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan
desentralisasi akan berpengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan.
Setidaknya ada 4 dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi
pendidikan, yaitu : 1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki
sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber
daya yang dimiliki; 2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan
memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional; 3)
Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang
dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat; 4) Perluasan dan
pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok
sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.
Pemberlakuan
desentralisasi pendidikan mengharuskan diperkuatnya landasan dasar
pendidikan yang demokratis, transparan, efisien dan melibatkan partisipasi
masyarakat daerah. Muctar Buchori (2001) menyatakan pendidikan merupakan faktor
penentu keberhasilan pembangunan manusia, karena pendidikan berfungsi sebagai
pengembang pengetahuan, ketrampilan, nilai dan kebudayaan.
Desentralisasi
pendidikan dapat terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu Dekonstrasi, Delegasi dan
Devolusi (Fiorestal, 1997). Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian
kewenangan kepada pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi
dan pusat. Sementara Delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan
yang penuh sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat. Pada
Tingkat Devolusi di bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu
(1) terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di daerah dan di
pusat; 2) kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan; 3) lepas dari
supervisi hirarkhis dan pusat dan 4) kewenangan lembaga daerah diatur dengan
peraturan perundangan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, proses desentralisasi
pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih menjurus kepada
Devolusi, yang pertaruran pelaksanaannya tertuang pada Peraturan Pemerintah
No.25 Tahun 2000, seluruh urusan pendidkan dengan jelas menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kecuali Pendidikan Tinggi. Kewenangan
Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar minimal, baik dalam persyaratan calon
peserta didik, kompetensi peserta didik, kurikulum nasional, penilaian hasil
belajar, materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan dan
melaksanakan fasilitas (Pasal 2 butir II).
Dalam
konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom.
Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu
lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk
memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Namun
sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum
berjalan sebagaimana diharapkan, justru pemberlakuan otonomi membuat banyak
masalah yaitu mahalnya biaya pendidikan.
Sedangkan,
pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan
keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan
yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manajemen Implementasi kurikulum
1.
Pengertian kurikulum
Kurikulum
adalah program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah)
bagi siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai
kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai
dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dengan
program kurikuler tersebut, sekolah/lembaga pendidikan menyediakan lingkungan
pendidikan bagi siswa untuk berkembang.
Itu sebabnya, kurikulum disusun
sedemikian rupa yang memungkinkan siswa melakukan beraneka ragam kegiatan
belajar. Kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran, namun meliputi segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa.[1] Manajemen
kurikulum adalah segenap proses usaha bersama untuk memperlancar pencapaian
tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha, meningkatkan kualitas
interaksi belajar mengajar.[2]
Segala
sesuatu dan semua orang yang terlibat dalam upaya memberikan bantuan kepada
siswa termasuk dalam kurikulum. Ini berarti kegiatan-kegiatan kurikuler tidak
terbatas dalam ruangan kelas, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan di luar
kelas(pen). Pandangan modern menjelaskan, bahwa antara kegiatan intrakurikuler
dan kegiatan ekstrakurikuler tidak ada pemisahan yang tegas. Semua kegiatan
yang bertujuan memberikan pengalaman pendidikan kepada siswa tercakup dalam
kurikulum.
Kendatipun
pandangan tersebut dapat diterima, namun pada umumnya guru-guru tetap
berpandangan, bahwa kegiatan-kegiatan dalam kelas saja yang termasuk kurikulum,
sedangkan kegiatan-kegiatan di luar kelas adalah kegiatan ekstra. Pandangan ini
berdasarkan pertimbangan dari segi nilai edukatif yang diberikan oleh kurikulum
itu. Penganut pandangan ini tetap menyadari bahwa kegiatan-kegiatan ekstra
merupakan bagian khusus dalam program pendidikan sekolah.[3]
Dalam
Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan
ini lebih spesifik yang mengandung poko-pokok pikiran sebagai berikut:
a)
Kurikulum merupakan suatu rencana/perecanaan.
b)
Kurikulum merupakan pengaturan berarti mempunyai sistematika dan
struktur tertentu.
c)
Kurikulum memuat/ berisikan isi dan bahan pelajaran, menunjuk
kepada perangkat mata ajaran atau bidang pengajaran tertentu.
d)
Kurikulum mengandung cara, metode, atau strategi penyampaian
pengajaran.
e)
Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.
f)
Kendatipun tidak tertulis, namun
telah tersirat di dalam kurikulum, yakni kurikulum dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan.
g)
Berdasarkan butir 6 maka kurikulum sebenarnya adalah suatu alat
pendidikan.
Rumusan
tersebut menjadi lebih jelas dan lengkap, karena suatu kurikulum harus disusun
dengan memperhatikan berbagai faktor penting. Dalam undang-undang telah
dinyataakan, bahwa “ kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan
kesesuaiannya denagan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang
masing-masing satuan pendidikan.[4]
2.
Faktor-faktor
yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu kurikulum.
Faktor-faktor dibawah ini menunjukkan adanya keharusan , bahwa
pengembangan kurikulum mesti dilandasi oleh dasar-dasar esensial sebagai
berikut:
a.
Tujuan pendidikan nasional.
b.
Tahap perkembangan peserta didik.
c.
Kesesuaian dengan lingkungan.
d.
Kebutuhan pembangunan nasional.
e.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian.
f.
Kesesuaian dengan jenis dan jenjang satuan pendidikan.[5]
3.
Unsur-unsur pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran.
Kourilski
dan Quaranta, dalam bukunya Effective Teaching, prinsiples and practice
menggambarkan unsur-unsur kunci pengembangan kurikulum dan proses penbelajaran
sebagai berikut:
Merumuskan tujuan umum (goals) dan tujuan khusus (objectives)
|
apa
|
Di mana
|
Pengembangan kurikulum
|
Berdasarkan kebutuhan sosial, emosional, dan akademik siswa
|
bagaimana
|
Langkah
kesatu
Penilaian awal siswa terhadap tujuan
|
Pengembangan kurikulum
|
Menilai prerekuisit keterampilan, pengetahuan dan sikap
|
Langkah
kedua
Pelaksanaan urutan pembelajaran
|
Prinsip-prinsip belajar, analisis tugas, manajemen kelas dan
alternatif pedagogis ke dalam rangsangan
|
Belajar dan
mengajar, pusat belajar modular, pengajaran berdasarkan pengalaman
pengajaranberdasarkan Inkuiri, pengajaran berpusat pada siswa.
|
Langkah
ketiga
Tingkah laku siswa
|
Keempat
Menilai pengajaran
|
Produk siswa
|
Menilai tingkat performans terkait dengan tujuandan perubahan
sikap
|
Evaluasi
|
4.
Faktor-faktor pengembangan kurikulum
Ada lima faktor
penting yang mesti diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, ialah:
1.
Filsafat pendidikan, pendidikan itu dipengaruhi cita-cita
masyarakat (pen).
2.
Masyarakat.
3.
Siswa.
4.
Proses belajar.
5.
Bentuk kurikulum.[6]
5.
Pelaksanaan Kurikulum.
Dalam
pelaksanaan kurikulum, kegiatan kepala sekolah sesuai dengan perannya sebagai
pemimpin sekolah menitikberatkan pada: menyusun perencanaan untuk melaksanakan
kurikulum dalam sistem sekolah yang dipimpinnya, melakukan koordinasi kegiatan
guru-guru, menata dan membina organisasi guru dan organisasi pembelajaran
siswa, membina sistem komunikasi yang efektif di lingkungan sekolah antara
sekolah dan masyarakat serta lembaga-lembaga lainnya, melakukan supervisi bagi
guru-guru bidang studi dan menilai kegiatan kurikulum serta melaksanakan
penilaian secara keseluruhannya.
Pelaksanaan
kurikulum dibagi menjadi dua tingkatan yaitu: pelaksanaan kurikulum tingkat
sekolah dan tingkat kelas. Dalam tingkat sekolah, yang berperan adalah kepala
sekolah dan pada tingkat kelas yang berperan adalah guru.
a.
Pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah
Kepala
sekolah berkewajiban melakukan kegiatan-kegiatan yakni menyusun jadwal
pelaksanaan kegiatan, memimpin rapat dan notula rapat, membuat statistik, dan
menyusun laporan.[7]
-
Pembinaan organisasi sekolah.
Pelaksanaan
kurikulum membutuhkan organisasi sekolah yang kuat. Sekolah-sekolah yang
tergolong mapan, umumnya melaksanakan kurikulum ditunjang oleh:
1.
Guru bidang studi yang memadai.
2.
Staf karyawan tata usaha yang cakap dan terampil.
3.
Bagian pengadaan alat bantu mengajar.
4.
Bagian perpustakaan.
5.
Pengelolaan laboratorium tempat diadakannya percobaan dan praktek.
6.
Usaha kesehatan sekolah (UKS), yang dibina oleh dokter, perawat,
tenaga psikiater.
7.
Bagian bimbingan dan penyuluhan (BP) Yang dibina oleh tenaga
konselor yang ahli.
8.
Bagian yang bertugas membina kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler,
kepramukaan, latihan keterampilan.
9.
Organisasi siswa (OSIS).
10.
Organisasi orangtua murid.
11.
Bagian kerohanian dan pembinaan masjid sekolah.
-
Koordinasi dalam pelaksanaan kurikulum
Koordinasi
bertujuan agar terdapat kesatuan sikap, pikiran dan tindakan para personal dan
staf pada suborganisasi dalam organisasi sekolah untuk melaksanakan kurikulumnya.[8]
-
Sistem komunikasi dan pembinaan kurikulum.
Melalui
komunikasi, akan terjadi hubungan interaktif dari semua pihak yang pada
akhirnya mengmbangkan proses kerjasama yang baik dalam upaya mencapai
tujuan–tujuan administrasi kurikulum.
Sistem
komunikasi penting untuk melaksanakan kurikulum. Dalam melaksanakan kurikulum,
pada sekolah perlu mengembangkan sistem komunikasi secara efektif agar semua
pihak/personal yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum bertindak satu arah,
satu pemikiran, satu sikap, dan satu keinginan, mencapai tujuan-yujuan sekolah
secara tepat, guna, dan berdaya guna.
Bentuk
proses komunikasi dalam pelaksanaan kurikulum. Pelaksanaan komunikasi di
sekolah dapat berlangsung dalam berbagai bentuk yakni:
1.
Proses primer versus proses sekunder.
2.
Komunikasi bebas versus komunikasi terbatas.
3.
Komunikasi satu arah versus komunikasi dua arah
b.
Pelaksanaan kurikulum tingkat kelas.
Pembagian
tugas guru harus diatur secara administrasi untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan kurikulum lingkungan kelas.
Pembagian
tugas-tugas tersebut meliputi 3 jenis kegiatan administrasi, yaitu:
a.
Pembagian tugas mengajar.
b.
Pembagian tugas pembinaan ekstrakulikuler.
c.
Pembagian tugas bimbingan belajar.
Pembagian
tugas ini dilakukan melalui musyawarah guru yang dipimpin kepala sekolah.
keputusan tugas tersebut selanjutnya dituangkan dalam jadwal pelajaran untuk
satu semester atau satu tahun akademik.[9]
Mungkin
saja guru diberi kesempatan untuk turut serta melakukan evalusi secara kontinu
dan melakukan usaha perbaikan/reorganisasi terhadap kurikulum sekolah.
dikatakan mungkin, oleh sebab sampai sekarangkurikulum sekolah telah ditetapkan
oleh pemerintah pusat (Departemen Pendidikan Nasional), hanya sekolah-sekolah
swasta dapat melakuakn penyusunan atau penyempurnaan kurikulumnya berdasrkan
usahapenyesuaian yang berpedoman pada kurikulum yang telah ditetapkan.
Jika guru diberikan kesempatan turut serta maka prinsip-prinsip
dibaah ini dapat dijadikan petunjuk yang berguna.
a)
Perbaikan kurikulum bergantung pada pertumbuhan guru
b)
Perubahan-perubahan di dalam kurikulum didasarkan atas penelitian
perencanaan dan organisasi.
c)
Apabila suatu evaluasi kurikulum menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan tertentu terhadap kurikulum akan dilakukan maka perlu
disusun suatu program revisi kurikulum.
d)
Sekolah menjadi pusat perencanaan
e)
Orang-orang yang mengetahui dan
mengerti tentang siswa-siswa harus diikutsertakan dalam perencanaan
kurikulum
f)
Para Administrator, guru-guru, orang tua orang luar, dan
siswa-siswa hendaknya diikutsertakan dalam perencanaan kurikulum
g)
Kecenderungan di dalam tingkatan dasar dan lanjutan hendaknya diarahkan
pada organisasi kurikullum yang telah bersatu (unified)
h)
Kurikulem harus memperhatikan dan mempertimbangkan semua pengalaman
yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat demokrasi.
i)
Kurikulum harus memiliki pengalaman-pengalaman untuk membantu para
siswa melakukan penyesuaian diri terhadap kehidupan mereka sekarang.
j)
Kurikulum harus menyediakan pengalaman-pengalaman yang membantu
pekembangan peserta didik dalam segi Intelektual, jasmani, sosial, emosional,
Spiritual.
k)
Kurikulum harus berkenaan dengan kualitas moral yang tinggi sebagai
ciri pandnagan hidup demokratis
l)
Kurikulum harus mengandung Interelasi antara beberapa mata
pelajaran
m)
Harus ada perencanaan yang jelas untuk mencapai keseimbanganantara
isi mata pelajaran.
n)
Harus ada peranan yang jelas bagi interaksi sosial di kalangan
peserta didik dalam semua daerah pelajaran.
o)
Harus ada perencanaan yang jelas bagi pengembangan kemampuan
kreatifitas peserta didik.
p)
Organisasi kurikulum harus menyediakan pengajaran langsung untuk mengembangkan
penguasaan dasar-dasar belajar, bekerja efektif, dan kebiasaan belajar
q)
Isi kurikulum harus memberikan pengalaman belajar yang kontinu yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip perkembangan peserta didik
r)
Kurikulum harus melayani perbedaan individual dalam hal kebutuhan,
minat, abilitas, dan kecepatan belajar
s)
Kurikulum harus memberikan pengalaman belajar dari yang konkret
menuju ke yang abstrak.
6.
Syarat-syarat yang perlu diperhatikan:
Pelaksanaan
evaluasi, revisi, dan perbaikan kurikulum
perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
a)
Perencanaan evaluasi, revisi, dan perbaikan disusun berdasarkan
kebutuhan yang mendesak sifatnya, misalnya terjadi perubahan-perubahan
fundamental dalam masyarakat.
b)
Semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan sebaiknya turut berperan
serta dalam organisasi pengembangan kurikulum.
c)
Pola organisasinya adalah dengan cara mengundang seorang ahli di
bidang pengembangan kurikulum atau dengan cara membentuk suatu badan khusus
pengembang kurikulum (dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan tertentu).
d)
Pembentukan suatu panitia kerja yang bertugas melakukan penelitian,
penilaian, koordinasi, dan menyiapkan bahan-bahan guna perbaikan kurikulum.
e)
Kurikulum yang baru hasil perbaikan supaya diperkenalkan/dijelaskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar mereka bisa memahaminya dan dapat
melaksanakannya sebagaimana mestinya.[10]
7.
Proses pengembangan kurikulum
Dalam
pengembangan kurikulum terdapat dua proses utama, yakni pengembangan pedoman
kurikulum dan pengembangan pedoman intruksional.
1)
Pedoman kurikulum meliputi:
a)
Latar belakang yang berisi rumusan falsafah dan tujuan lembaga
pendidikan, populasi yang menjadi sasaran, rasional bidang studi atau mata
kuliah, struktur organisasi bahan pelajaran.
b)
Silabus yang berisi mata pelajaran secara lebih terinci yang
diberikan yakni scope (ruang llingkup) dan sequence-nya (urutan penhkajiannya)
c)
Disain evaluasi termasuk strategi revisi atau perbaikan kurikulum
mengenai: bahan pelajaran, organisasi bahan dan strategi intruksionallnya.
2)
Pedoman intrusional untuk tiap mata pelajaran yang dikembangkan
berdasarkan silabus.[11]
8.
Sumber-sumber Materi Kurikulum
Isi atau materi kurikulum pun harus bersumber pada tiga hal
tersebut, yakni:
a)
Masyarakat beserta budayanya
b)
Siswa
c)
Ilmu pengetahuan
Dalam
menentukan isi kurikulum ketiga sumber tadi harus digunakan secara seimbang.
Isi kurikulum yang terlalu menonjolkan salah satu aspek, dapat mempengaruhi
keseimbangan makna pendidikan.[12]
B.
Dampak supervisi ke dalam kelas untuk menuju pendidikan yang SBI
1.
Pengertian Supervisi
Supervisi
adalah aktivitas menentukan kondisi-kondisi/ syarat-ayarat yang esensial, yang
akan menjamin tercapainya tujuan-tujuan tertentu. Dengan kata lain supervisi
ialah suatu aktifitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan
pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.[13]
Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi
belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu
diperhatikan :a.
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar. Hal-hal yang menunjang kegiatan
belajar mengajar karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian
harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru
dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni
: 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial
(Depdiknas, 1982).
2.
Latar belakang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Adapun latar belakang dari kebijakan
tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah:
a. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh
suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas
kualitas dan standarnya;
b. Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan
anaknya ke Luar Negeri;
c. Belum ada payung hukum yang mengatur penyelenggaraan sekolah
internasional;
d. Perlunya
membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence)
pendidikan;
e. Atas
fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf
internasional;
f. Sebagai
bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap
kualitas proses, dan hasil pendidikannya.
3.
Landasan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Sebagai
sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, seharusnya Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) memiliki landasan hukum yang jelas dan diatur
dalam konstitusi Negara. Adapun landasan konstitusional dari Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) adalah:
a. UU Sisdiknas
Pasal 50 Ayat 3“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
b. PP
No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan).
c. PP No.
17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan).
d. Permendiknas
No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan).
e. Permendiknas
No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah).
Adapun
penyelenggaraan dari SBI ini didasarkan pada landasan filosofi eksistensialisme
dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa
pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik
seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan
yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, eksperimentif, menumbuhkan
dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi
eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta
didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan,
menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ),
emosional (EQ), dan Spiritual (SQ). Filosofi esensialisme menekankan bahwa
pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan. Terkait dengan
tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia
yang mampu bersaing secara internasional.
4.
Implementasi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1.
Partisipasi pemerintah dalam perintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI)
Adapun
yang dicanangkan pemerintah dalam proses menuju Sekolah Bertaraf Internasional
(SBI) adalah sebagai berikut:
1.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
a.
standar isi;
b.
Standar proses;
c.
Standar kompetensi lulusan;
d.
Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e.
Standar sarana dan prasarana;
f.
Standar pengelolaan;
g.
Standar pembiayaan; dan
h.
Standar penilaian pendidikan
2. Sekolah yang memenuhi standar minimal SNP
diberikan pendampingan, pembimbingan, penguatan, dalam bentuk Rintisan SBI
(RSBI)
3. Jenjang
menuju Sekolah Berbasis Internasional adalah bahwa sekolah harus memenuhi
syarat-syarat dalam jenjang pendidikan yang distandartkan sebagai berikut,
yakni: pertama sekolah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP),
kemudian memenuhi standar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), baru
bisa disebut sebagai Sekolah Berstandar Internasional (SBI)
Program
dan kegiatan yang dicanangkan pemerintah dalam proses perintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan kurikulum yang mengacu pada kurikulum negara maju
1. Mempersiapkan kurikulum yang mengacu pada kurikulum negara maju
2. Meningkatkan
kualitas proses pembelajaran
3.Melatih guru
dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran
4. Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi guru
4. Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi guru
5. Mendapatkan
pendampingan dari Tenaga Ahli
6. Menjalin
sister school
7. Meningkatkan
kemampuan guru dalam berbahasa internasional
8. Menerapkan
Sistem Manajemen Mutu (ISO)
9.
Menyelenggarakan pelatihan leadership untuk Kepala Sekolah
10. Melengkapi
sarana sekolah
BAB III
PENUTUP
KEPUSTAKAAN
Prof. Dr. Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta,
PT. Bumi Aksara: 2001), Cet-1
Prof. Dr. Oemar Hamalik, MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM,
(Bandung, PT. Rosdakarya: 2007), Cet- 2
Prof. Dr. S. Nasution, M. A., Kurikulum dan Pengajaran,
(Jakarta, PT. Bumi Aksara:2009), cet-5
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M. Pd., Kurikulum dan Pembelajaran, (jakarta, Kencana: 2010), cet-3
DRS. M. Ngalim Purwanto, MP. , Administrasi dan Supervisi
Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya: 2009), Cet-19
Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta,
Aditya Media), Hal. 131
[1] Prof. Dr. Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta,
PT. Bumi Aksara: 2001), Cet. 1, Hal. 65
[2]
Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta,
Aditya Media), Hal. 131
[3]
Prof. Dr. Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta, PT. Bumi
Aksara: 2001), Cet. 1, Hal. 65
[4] Ibid. Hal. 66
[5] Ibid. Hal. 67
[6] Ibid. Hal. 69
[7] [7] Prof.
Dr. Oemar Hamalik, MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM, Hlm. 172-174.
[8] [8] Prof.
Dr. Oemar Hamalik, MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM, Hlm. 177-179.
[9] [9] Prof.
Dr. Oemar Hamalik, MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM, Hlm. 179-180.
[10] Ibid. 75-76
[11] Prof. Dr. S. Nasution, M. A., Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta,
PT. Bumi Aksara:2009), cet-5, hal:8.
[12]
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M. Pd., Kurikulum dan Pembelajaran, (jakarta, Kencana: 2010), cet-3, hal:114
[13]
DRS. M. Ngalim Purwanto, MP. , Administrasi dan Supervisi Pendidikan,
(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya: 2009), Cet-19, hal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar