BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di dalam penerapan hukum Islam, terdapat sumber hukum Islam yang
dipakai landasan dasar dalam mencari kepastian hukum. Sumber hukum Islam ada
yang disepakati para ulama yang dan ada yang ikhtilafi (tidak disepakati para ulama).
Adapun sumber hukum Islam yang disepakati para ulama yang paling pokok adalah
pertama kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi (Al-Hadits), dan ada sumber lain
yang dikaitkan kepada sumber-sumber pokok yang sudah disepakati oleh mayoritas
para fuqoha’ yaitu ijma’ dan qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang ikhtilafi oleh para mujtahid
Islam itu sendiri ada beberapa macam yaitu istihsan, istishhab, mashalihul
mursalah, al-‘urf, syar’u man goblana, syaddudz dzaro’I, madzhab shahabi dan
dalalatul iqiron.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian ijma’?
2.
Apa saja unsur (rukun) yang harus ada dalam ijma’?
3.
Apa yang mendasari ijma’ sebagai hujjah?
4.
Bagaimana mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’?
5.
Apa saja macam-macam ijma’?
6.
Apa saja yang menjadi persyaratan seorang mujtahid?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Mengetahui pengertian ijma’
2.
Mengetahui unsur (rukun) yang harus ada dalam ijma’
3.
Yang mendasari ijma’ sebagai hujjah
4.
Mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’
5.
Mengetahui macam-macam ijma’
6.
Mengetahui persyaratan seorang mujtahid
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN IJMA’
Ijma’ secara ethimology memiliki dua pengertian. Pertama, merupakan
masdar dari kata أجْمَعَ, yang artinya berupaya (tekad) terhadap
sesuatu. Kedua, berarti memutuskan dan menyepakati sesuatu. Perbedaan
arti pertama dan arti kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan
arti kedua lebih dari satu orang.[1]
Sedangkan
secara terminology ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dalam suatu
masa (zaman) setelah wafatnya Rasulullah saw. terhadap suatu hukum syar’i
mengenai suatu peristiwa.
إِجْمَع هو إتّفاقُ جميعِ المُجتهِدينَ فى عَصرٍ مِن العُصُورِ بعد
وَفاةِ رسولِ اللهِ على حُكمِ شَرعيٍّ فى الواقِعةِ.[2]
B.
RUKUN-RUKUN IJMA’
Ijma’ tidak akan terbentuk sekiranya
tidak memenuhi 4 macam rukun berikut ini :
1.
Adanya beberapa mujtahid pada saat terjadinya peristiwa dan
seluruhnya memiliki kesesuaian pendapat. Ijma’ tidak akan terwujud sekiranya
ada seorang mujtahid yang tidak sependapat. Oleh karena itu, pada zaman
Rasulullah saw. masih hidup ijma’ tidak akan terjadi, karena beliau
satu-satunya mujtahid pada masa itu.
2.
Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah diputuskan
dengan tidk memandang Negara, kebangsaan dan golongan mereka. Kalau hukum
peristiwa hanya disepakati oleh ulama-ulama Mesir dan ulama-ulama Saudi berbeda
pendapatnya (misalnya), maka yang demikian tidak dapat disebut ijma’.
3.
Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan secara tegas (shahih).
4.
Kesepakatan itu haruslah kesepakatan bulat para mujtahid.
Apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka hukum hasil dari
ijma’ itu merupakan undang-undang (hukum) syara’ yang wajib ditaati dan para
mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu
tempat berijtihad baru. Sebab kekuatan hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa
ijma’ itu telah menjadi hukum syara’ yang qath’i, sehingga tidak dapat
diganti atau dihapus dengan ijtihad yang lain.[3]
C.
DASAR HUKUM ATAU KEHUJJAHAN IJMA’
Sebagai bukti
bahwa ijma’ menjadi hujjah adalah sebagai berikut :
1.
Perintah Allah SWT. untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan juga
taat kepada para pemimpin,
يــأ يُّها الّذينَ أمنوا أطيعواالرّسولَ واُولى الأمرِمنكم صلى (
النســـاء : 59)
Lafadz “ulil amri” mencakup pemegang urusan
duniawi/pemeritahan dan urusan-urusan agama, seperti mujtahid, paa mufti dan ulama.
2.
Hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh seluruh kaum muslimin pada
hakikatnya adalah hukum umat Islam seluruh dunia. Hal ini didasarkan pada
penegasan Rasulullah yang menjelaskan terpeliharanya kaum muslimin dari
bersepakat untuk membuat kesalahan/kesesatan.
لاَ تَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى خَطَإٍ (رواه ابن ماجه)
3.
Ijma’ terhadap hukum syara’ harus dibangun di atas sandaran
syari’at. Sebab setiap mujtahid terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak
boleh melampauinya. Artinya, jika di dalam melakukan ijtihad, mujtahid
mendapati nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman hash itu. Jika
tidak ada nash, maka ijthadnya idak boleh melampaui cara istinbath hukum.
Ia dituntut untuk a dituntut untuk menqiyaskan pada perbuatan yang sudah ada
nashnya atau menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syari’at atau mnggunakan
dalil-dalil yang ditegakkan syari’at, seperti Istihsana, Istishhab, ‘Urf dan
maslahah mursalah.[4]
D.
KEMUNGKINAN IJMA’
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa ijma’ itu mungkin terjadi menurut
adat kebiasan. Mereka mengatakan bahwa yang mengingkari kemungkinan terjadinya
ijma’ adalah mengingkari hal yang nyata terjadi.
Salah seorang ulama bernama Al-Nazham dan sebagian ulama syi’ah
mengatakan bahwa ijma’ yang unsure-unsurnya seperti tersebut di atas tidak
mungkin terjadi berdasarkan adat. Hal ini lantaran sulitnya melakukan ijtihad
dengan unsur-unsur yang ada. dalam hal ini tidak disebutkan sejauh mana
seseorang telah mencapai tingkatan ijtihad. Juga tidak adanya ukuran umum yang
menetapkan kriteria seorang mujtahid, karena sulit menentukan seorang mujtahid
atau bukan. Karena itu sebagian ulama telah mengecualikan yaitu Ijma’
Shahabat karena mereka para sahabat yang berijma’ yaitu para ulama
jumlahnya masih sedikit. Imam Daud berkata :
اللإجْما عُ إنَّما هُو إجْماعُ الصَّحا بَةِ
فَقَطْ.[5]
E.
MACAM-MACAM IJMA’
Ditinjau dari segi terjadinya, ijma’ itu ada dua macam :
1.
Ijma’ Sharih,
yaitu persesuaian pendapat para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu
peristiwa dengan cara masing-masing dai mereka menyatakan pendapatnya dengan
cara memfatwakannya atau mempraktikannya. Dengan kata lain, setiap mujtahid
mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya. Ijma’
Sharih disebut juga Ijma’ Haqiqi, dan menjadi sumber hukum Islam.
2.
Ijma’ Sukuti (diam),
yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapat dengan tegas dari hukum suatu
peristiwa dengan cara memfatwakannya
atau mempraktikannya. Sedangkan sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan
persetujuannya dan tidak pula menentang. Ijm Sukuti disebut juga Ijma’
I’tibari (masih relatif).
Jumhur ulama brpendapat bahwa Ijma’ Sukuti tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum Islam, tetapi Ulama Hanafiah menjadikannya
sebagai sumber hukum.
Ditinjau dari segi qath’i (pasti) atau dzonni (dugaan)
nya dalalah, ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Ijma’ qath’iy al-dalalah terhadap hukumnya, yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ ini adalah qath’i. Ijma’
yang qath’j y al-dalalah adalah Ijma’ Sharih.
2.
Ijma’ Dzonniy al-dalalah terhadap hukumnya, yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ ini adalah dzonniy (dugaan
saja) dan peristiwa yang ditetapkan hukumnya berdasarkan ijma’ ini masih bisa
dijadikan sasaran ijtihad mujtahid lain, sebab ia baru merupakan hasil dari
sebagian mujtahid.[6]
Ditinjau dari ruang
lingkup para mujtahid yang berijma’, maka terdiri dari :
1.
إجماع الأمّة
Yaitu
ijma’ umat. Ijma’ ini yang dimaksud dengan definisi pada permulaan.
2.
إجماع الصّحابة
Yaitu
persesuaian faham segala ulama shahabat terhadap sesuatu urusan.
3.
إجماع اهل المدينة
Yaitu
persesuaian faham ulama-ulama ahli Madinah terhadap suatu kasus. Ijma’ ini bagi
Imam Malik adalah hujjah.
4.
إجماع اهل الكوفة
Yaitu
persesuaian ahli Kuffah terhadap suatu masalah. Ijma’ ini dianggap hujjah bagi
Imam Abu Hanifah.
5.
إجماع الخلفاءالأربعة
Yaitu
kesepakatan atau persesuaian faham terhadap sesuatu pada khalifah yang empat.
Ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits :
عليكم بسنّتي وسنّة الخلفاء الراشدين
6.
إجماع الشّيخين
Yaitu
persesuaian faham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum. Ijma’ ini oleh sebagian
ulama diangap hujjah atas dasar
إقْتَدُوا بالذين بَعْدى أبي بكر وعُمرَ[7]
F.
SYARAT MUJTAHID
Mujtahid hendaknya
sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat :
1.
Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, as-Sunnah dan masalah ijma’
sebelumnya.
2.
Memiliki pengetahuan tentang ushu fiqh.
3.
Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu al-Syatibi menambahkan syarat lain yaitu mengetahui
tentang Maqashid as-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang
mujtahid dituntut untuk memahami Maqashid as-Syariah. Menurutnya,
seseorang tidak dapat mencapai tigkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal,
yaitu: pertama, ia harus mampu menguasai Maqashid as-Syariah secara
sempurna. Kedua, ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum
berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas Maqashid as-Syariah.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum Islam
yang disepakati oleh mayoritas fuqoha’ setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah ijma’ dan qiyas. Pengertian Ijma’
adalah kesepakatan mujtahid dalam suatu masa (zaman) setelah wafatnya
Rasulullah saw. terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa. Kehujjahan
ijma’ didasarkan atas beberapa alasan, yaitu alasan Al-Qur’an dan Hadits.
Unsur-unsur
yang membentuk ijma’ ada empat hal, yang intinya adalah kesepakatan para
mujtahid atas kebulatan pendapat yang nyata. Sedangkan macam-macam ijma’ jika
ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid ada enam macam, jika ditinjau dari
cara terjadinya ada dua macam, dan jika dilihat dar segi qath’I dan dzonni ada
dua macam.
Sebagai
tambahan bahwa untuk menjadi seorang mujtahid harus memenuhi minimal tiga
syarat, yaitu memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, as-Sunnah dan masalah
ijma’ sebelumnya, memiliki pengetahuan tentang ushu fiqh dan menguasai ilmu
bahasa.
B.
SARAN
Dengan
hadirnya makalah ini, kami sampaikan dengan usaha kami. Bila ini memang benar
adanya, maka ini hanya dari Allah SWT. yang memiliki Maha Kebenaran, dan bila
terdapat beberapa kesalahan itu karenakami tidak jauh dari kekhlafan dan tidak
enggan para pembaca khususnya dosen pengampu untuk memberikan kritik dan saran
guna perbaikan-perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini banyak member manfaat
bagi mahasiswa STIBAFA khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.
Amin…
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf . 2008. Ushul Fiqih. Jombang: CV. Berkah Adi
Modul Ushul Fiqih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar