Selasa, 20 Mei 2014

SEPUTAR IJMA'



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG 
Di dalam penerapan hukum Islam, terdapat sumber hukum Islam yang dipakai landasan dasar dalam mencari kepastian hukum. Sumber hukum Islam ada yang disepakati para ulama yang dan ada yang ikhtilafi (tidak disepakati para ulama). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati para ulama yang paling pokok adalah pertama kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi (Al-Hadits), dan ada sumber lain yang dikaitkan kepada sumber-sumber pokok yang sudah disepakati oleh mayoritas para fuqoha’ yaitu ijma’ dan qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang ikhtilafi oleh para mujtahid Islam itu sendiri ada beberapa macam yaitu istihsan, istishhab, mashalihul mursalah, al-‘urf, syar’u man goblana, syaddudz dzaro’I, madzhab shahabi dan dalalatul iqiron.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian ijma’?
2.      Apa saja unsur (rukun) yang harus ada dalam ijma’?
3.      Apa yang mendasari ijma’ sebagai hujjah?
4.      Bagaimana mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’?
5.      Apa saja macam-macam ijma’?
6.      Apa saja yang menjadi persyaratan seorang mujtahid?

C.      TUJUAN MASALAH
1.         Mengetahui pengertian ijma’
2.         Mengetahui unsur (rukun) yang harus ada dalam ijma’
3.         Yang mendasari ijma’ sebagai hujjah
4.         Mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’
5.         Mengetahui macam-macam ijma’
6.         Mengetahui persyaratan seorang mujtahid

BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN IJMA’
Ijma’ secara ethimology memiliki dua pengertian. Pertama, merupakan masdar dari kata أجْمَعَ, yang artinya berupaya (tekad) terhadap sesuatu. Kedua, berarti memutuskan dan menyepakati sesuatu. Perbedaan arti pertama dan arti kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[1]
Sedangkan secara terminology ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dalam suatu masa (zaman) setelah wafatnya Rasulullah saw. terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.   
إِجْمَع هو إتّفاقُ جميعِ المُجتهِدينَ فى عَصرٍ مِن العُصُورِ بعد وَفاةِ رسولِ اللهِ على حُكمِ شَرعيٍّ فى الواقِعةِ.[2]
B.       RUKUN-RUKUN IJMA’
Ijma’ tidak akan terbentuk sekiranya tidak memenuhi 4 macam rukun berikut ini :
1.      Adanya beberapa mujtahid pada saat terjadinya peristiwa dan seluruhnya memiliki kesesuaian pendapat. Ijma’ tidak akan terwujud sekiranya ada seorang mujtahid yang tidak sependapat. Oleh karena itu, pada zaman Rasulullah saw. masih hidup ijma’ tidak akan terjadi, karena beliau satu-satunya mujtahid pada masa itu.
2.      Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah diputuskan dengan tidk memandang Negara, kebangsaan dan golongan mereka. Kalau hukum peristiwa hanya disepakati oleh ulama-ulama Mesir dan ulama-ulama Saudi berbeda pendapatnya (misalnya), maka yang demikian tidak dapat disebut ijma’.
3.      Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan secara tegas (shahih).
4.      Kesepakatan itu haruslah kesepakatan bulat para mujtahid.
Apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma’ itu merupakan undang-undang (hukum) syara’ yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu tempat berijtihad baru. Sebab kekuatan hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma’ itu telah menjadi hukum syara’ yang qath’i, sehingga tidak dapat diganti atau dihapus dengan ijtihad yang lain.[3]
C.      DASAR HUKUM ATAU KEHUJJAHAN IJMA’
Sebagai bukti bahwa ijma’ menjadi hujjah adalah sebagai berikut :
1.      Perintah Allah SWT. untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan juga taat kepada para pemimpin,
يــأ يُّها الّذينَ أمنوا أطيعواالرّسولَ واُولى الأمرِمنكم صلى  ( النســـاء : 59)
Lafadz “ulil amri” mencakup pemegang urusan duniawi/pemeritahan dan urusan-urusan agama, seperti mujtahid, paa mufti dan ulama.
2.      Hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh seluruh kaum muslimin pada hakikatnya adalah hukum umat Islam seluruh dunia. Hal ini didasarkan pada penegasan Rasulullah yang menjelaskan terpeliharanya kaum muslimin dari bersepakat untuk membuat kesalahan/kesesatan.
لاَ تَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى خَطَإٍ (رواه ابن ماجه) 
3.      Ijma’ terhadap hukum syara’ harus dibangun di atas sandaran syari’at. Sebab setiap mujtahid terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh melampauinya. Artinya, jika di dalam melakukan ijtihad, mujtahid mendapati nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman hash itu. Jika tidak ada nash, maka ijthadnya idak boleh melampaui cara istinbath hukum. Ia dituntut untuk a dituntut untuk menqiyaskan pada perbuatan yang sudah ada nashnya atau menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syari’at atau mnggunakan dalil-dalil yang ditegakkan syari’at, seperti Istihsana, Istishhab, ‘Urf dan maslahah mursalah.[4]    
D.      KEMUNGKINAN IJMA’
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa ijma’ itu mungkin terjadi menurut adat kebiasan. Mereka mengatakan bahwa yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’ adalah mengingkari hal yang nyata terjadi.
Salah seorang ulama bernama Al-Nazham dan sebagian ulama syi’ah mengatakan bahwa ijma’ yang unsure-unsurnya seperti tersebut di atas tidak mungkin terjadi berdasarkan adat. Hal ini lantaran sulitnya melakukan ijtihad dengan unsur-unsur yang ada. dalam hal ini tidak disebutkan sejauh mana seseorang telah mencapai tingkatan ijtihad. Juga tidak adanya ukuran umum yang menetapkan kriteria seorang mujtahid, karena sulit menentukan seorang mujtahid atau bukan. Karena itu sebagian ulama telah mengecualikan yaitu Ijma’ Shahabat karena mereka para sahabat yang berijma’ yaitu para ulama jumlahnya masih sedikit. Imam Daud berkata :
اللإجْما عُ إنَّما هُو إجْماعُ الصَّحا بَةِ فَقَطْ.[5]   
E.       MACAM-MACAM IJMA’
Ditinjau dari segi terjadinya, ijma’ itu ada dua macam :
1.      Ijma’ Sharih, yaitu persesuaian pendapat para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa dengan cara masing-masing dai mereka menyatakan pendapatnya dengan cara memfatwakannya atau mempraktikannya. Dengan kata lain, setiap mujtahid mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya. Ijma’ Sharih disebut juga Ijma’ Haqiqi, dan menjadi sumber hukum Islam.
2.      Ijma’ Sukuti (diam), yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapat dengan tegas dari hukum suatu peristiwa   dengan cara memfatwakannya atau mempraktikannya. Sedangkan sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya dan tidak pula menentang. Ijm Sukuti disebut juga Ijma’ I’tibari (masih relatif).
Jumhur ulama brpendapat bahwa Ijma’ Sukuti tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam, tetapi Ulama Hanafiah menjadikannya sebagai sumber hukum.
Ditinjau dari segi qath’i (pasti) atau dzonni (dugaan) nya dalalah, ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ qath’iy al-dalalah terhadap hukumnya, yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ ini adalah qath’i. Ijma’ yang qath’j y al-dalalah adalah Ijma’ Sharih.
2.      Ijma’ Dzonniy al-dalalah terhadap hukumnya, yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ ini adalah dzonniy (dugaan saja) dan peristiwa yang ditetapkan hukumnya berdasarkan ijma’ ini masih bisa dijadikan sasaran ijtihad mujtahid lain, sebab ia baru merupakan hasil dari sebagian mujtahid.[6]
Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka terdiri dari :
1.      إجماع الأمّة
Yaitu ijma’ umat. Ijma’ ini yang dimaksud dengan definisi pada permulaan.
2.      إجماع الصّحابة
Yaitu persesuaian faham segala ulama shahabat terhadap sesuatu urusan.
3.      إجماع اهل المدينة
Yaitu persesuaian faham ulama-ulama ahli Madinah terhadap suatu kasus. Ijma’ ini bagi Imam Malik adalah hujjah.
4.      إجماع اهل الكوفة
Yaitu persesuaian ahli Kuffah terhadap suatu masalah. Ijma’ ini dianggap hujjah bagi Imam Abu Hanifah.
5.      إجماع الخلفاءالأربعة
Yaitu kesepakatan atau persesuaian faham terhadap sesuatu pada khalifah yang empat. Ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits :
عليكم بسنّتي وسنّة الخلفاء الراشدين
6.      إجماع الشّيخين
Yaitu persesuaian faham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum. Ijma’ ini oleh sebagian ulama diangap hujjah atas dasar
إقْتَدُوا بالذين بَعْدى أبي بكر وعُمرَ[7]
F.       SYARAT MUJTAHID
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat :
1.      Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, as-Sunnah dan masalah ijma’ sebelumnya.
2.      Memiliki pengetahuan tentang ushu fiqh.
3.      Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu al-Syatibi menambahkan syarat lain yaitu mengetahui tentang Maqashid as-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami Maqashid as-Syariah. Menurutnya, seseorang tidak dapat mencapai tigkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal, yaitu: pertama, ia harus mampu menguasai Maqashid as-Syariah secara sempurna. Kedua, ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas Maqashid as-Syariah.[8]


















BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Hukum Islam yang disepakati oleh mayoritas fuqoha’ setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah  ijma’ dan qiyas. Pengertian Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dalam suatu masa (zaman) setelah wafatnya Rasulullah saw. terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa. Kehujjahan ijma’ didasarkan atas beberapa alasan, yaitu alasan Al-Qur’an dan Hadits.   
Unsur-unsur yang membentuk ijma’ ada empat hal, yang intinya adalah kesepakatan para mujtahid atas kebulatan pendapat yang nyata. Sedangkan macam-macam ijma’ jika ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid ada enam macam, jika ditinjau dari cara terjadinya ada dua macam, dan jika dilihat dar segi qath’I dan dzonni ada dua macam.
Sebagai tambahan bahwa untuk menjadi seorang mujtahid harus memenuhi minimal tiga syarat, yaitu memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, as-Sunnah dan masalah ijma’ sebelumnya, memiliki pengetahuan tentang ushu fiqh dan menguasai ilmu bahasa.

B.       SARAN
Dengan hadirnya makalah ini, kami sampaikan dengan usaha kami. Bila ini memang benar adanya, maka ini hanya dari Allah SWT. yang memiliki Maha Kebenaran, dan bila terdapat beberapa kesalahan itu karenakami tidak jauh dari kekhlafan dan tidak enggan para pembaca khususnya dosen pengampu untuk memberikan kritik dan saran guna perbaikan-perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini banyak member manfaat bagi mahasiswa STIBAFA khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin…






DAFTAR PUSTAKA
Yusuf . 2008. Ushul Fiqih. Jombang: CV. Berkah Adi
Modul Ushul Fiqih





[2] Drs. Yusuf, M.Pd.I, Ushul Fiqih, CV.Berkah Adi, Jombang:2008, hal. 36
[3] Ibid hal. 37
[4] Ibid hal. 37-38
[5] Modul Ushul Fiqh hal. 33
[6] Drs. Yusuf, M.Pd.I, Ushul Fiqih, CV.Berkah Adi, Jombang:2008, hal. 38
[7] Modul Ushul Fiqh hal. 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar