Senin, 25 Agustus 2014

Konsep Pendidikan Islam



BAB I
PENDAHULUAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan kita dengan bentuk yang sebaik-baiknya dengan memberikan suatu yang berharga tentunya yaitu akal. Dan tidak lupa pula sholawat serta salam kita curahkan kepada junjungan yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alm yang gelap gulita menuju alam yang terang benerang yaitu agama islam.
Kemunculan dan perkembangan tradisi keilmuan, pemikiran, dan filsafat di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan (kebudayaan dan peradaban) yang mengitarinya. Kemunculan dan perkembangan bukan suatu yang orisinal dan baru sama sekali tetapi merupakan formulasi baru yang merupakan perpaduan antara kebudayaan dan peradaban yang sudah ada.
Pendidikan Islam yang mulai sejak dahulu adalah suatu proses pembelajaran yang dapat mengubah tingkah laku dari peserta didik sehingga menjadi tingkah laku yang tidak dilarang oleh agama dan Negara hal tersebut dapat diketahui dengan evaluasi yang biasanya dilakukan setiap akhir periode dari proses belajar-mengajar tersebut.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas dari bapak dosen yang telah dipercayakan kepada kami untuk memberi  pemahaman mengenai Hakekat Pendidikan Islam dan Etika Keilmuan. Disamping itu makalah ini diharapkan mengisi dan memperkaya khazanah keilmuan sekitar Filsafat pendidikan Islam serta melengkapi kepustakaan yang ada.
Melalui kesempatan ini kami berpegang pada prinsip “tidak ada gading yang tak retak” dan “tidak ada istilah final dalam ilmu”, maka kami menyadari bahwa makalah ini bukan karya yang final. Oleh karena itu dengan segala senang hati, kritik dan saran serta pandangan dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

Ø Rumusan Maslah

1.    Pengertian Pendidikan Islam?
2.     Pendidikan Islam dalam Perspektif Al-Qur’an?
3.    Hakekat Pendidik?
4.    Pengertian Peserta Didik?
5.    Batas Pendidikan?





BAB II
PEMBAHASAN
HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN ETIKA KEILMUAN
A.           Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam pada umumnya mengacu pada Al-Tarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga istilah tersebut yang populer di gunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim dan Al-Ta'dib jarang sekali digunakan.
Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[1]
A.1.      at-Tarbiyah
Istilah at-Tarbiyah berasal dari kata Arab, yang berarti:
a.       Bertambah dan berkembang ( ربا - يربو ربا)
b.      Tumbuh dan berkembang (ربي - يربي - تربية )
c.       Memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya (ربّ - يُربّ - ربا)
Istilah Al-Tarbiyah berasal dari kata Rab. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau ekstiensinnya. Proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang di berikan Allah sebagai "pendidik" seluruh ciptaan Nya, termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandungkan dalam Al-Tarbiyah, terdiri dari empat unsur pendekatan, yaitu:
1. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh)
2. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
4. Melaksanakan pendidikan secara bertahap.[2]
Dalam al-Qur’an secara implisit memang tidak ditemukan penunjukan kata at-tarbiyah, namun kata tersebut dapat ditelusuri pada istilah lain yang seakar dengan kata at-tarbiyah, yaitu pada firman Allah   (QS. Al Isra’/17:24):
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya:“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Menurut fahr al-Razy, kata “Rabbayani” merupakan pendidikan dalam bentuk luas, term tersebut tidak hanya menunjukkan pada makna pendidikan yang bersifat ucapan (domain kognitif), tapi juga meliputi pendidikan pada aspek tingkah laku (domain afektif).[3]
A.2.      al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)
Artinya:“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim (allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit. Pengertiannya hanya sebatas proses pentranferan seperangkat ilmu pengetahuan atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.
Istilah Al-Ta'lim adalah telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal di banding Al-Tarbiyah mupun Al-Ta'dib. Misalnya mengartikan Al-Ta`lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah dan annafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima alhikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui.[4]
A.3.      al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba” yang berarti:
a.       Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
b.      Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c.       Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member tindakan.[5]
Dalam hadist Nabi disebutkan:
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأدِيْبِي. (رواه العكسري عن علي(
Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Aksary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan.[6] Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Dalam hadits disebutkan:
عن عا ئشة سُأِلَتْ عَنْ أَخْلاَقِ رَسُولِ الله صلعم قَالَتْ كَانَ خلـــقه القُرْأن
Artinya: “Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”[7]
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Istilah Al-Ta'dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur angsur di tanamkan pada diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan kepada Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.[8] Di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah;
1.      Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.[9]
2.      Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.
3.      Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).[10]
4.      Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
B.     Pendidikan Islam dalam Perspektif Al-Qur’an
Dalam Al-Qur`an di tegaskan bahwa Allah adalah Rabbal'alamin, artinya adalah pendidik semesta alam dan juga pendidikan bagi manusia. Pengertian tersebut diambil. Karena kata Rabbal dalam arti Tuhan dan Rabb dalam arti pendidik berasal dari asal kata yang sama. Dengan demikian menurut Al-Qur’an tersebut alam dan manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang dan yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tersebut tidak lain kecuali Allah juga. Jadi mendidik dan pendidik pada hakikatmya adalah fungsi Tuhan dan mendidik adalah mengatur serta, mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan alam dan manusia sekaligus. Kenapa kenyataan bahwa pendidik dan mendidik itu menjadi urusan manusia. Dalam pandangan filsafat Islam, sebagai mana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa pada hakikatnya manusia adalah "Khalifah Allah di alam semesta ini "Khalifah berarti kuasa atau wakil.[11]
C.     Hakekat Pendidik
Pendidik apabila ditinjau dari segi bahasa (etimologi), sebagaimana yang dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik.[12] Di dalam bahasa Inggris dikenal dengan Teacher yang diartikan guru atau pengajar, atau tutor yang berarti guru pribadi (private). Dalam bahasa Arab disebut Ustadz/zah, Mudarris, Mu`allim, Mu`addib, selanjutnya dalam bahasa Arab kata Ustadz adalah jamak dari asatidz yang berarti guru (teacher), profesor (gelar akademik), jenjang dalam bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. adapun kata Mudarris berarti Teacher (guru), instruktor (pelatih), trainer (pemandu). sedangkan kata Muaddib berarti educator/pendidik atau Teacher In Coranic School (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur`an).[13]
Sedangkan Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik , baik petensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[14]
Secara terminologi, pengertian yang lebih implisit kata pendidik dapat diartikan dengan guru, sebagaimana yang disampaikan oleh Hadari Nawawi yang dikutip oleh Moh. Uzer, pendidik adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas. Bahwa guru yang berarti orang yang bekerja sebagai tenaga pengajar yang ikut juga bertanggung jawab dalam membantu peserta didik untuk mencapai proses kedewasaan. Tetapi dalam hal ini banyak disalah artikan banyak orang, bahwa hanya gurulah yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan. Tetapi yang sesungguhnya adalah baik masyarakat lebih-lebih orang tua peserta didik bersama-sama membangun proses pendidikan, agar menjadi masyarakat yang dewasa pula.[15]
Dikutip dari Abuddin Nata, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.[16]

C.1.  Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik.
Dalam Islam tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia. Posisi ini menyebabkan mengapa Islam menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi derajatnya bila dibanding dengan manusia lainnya, hal ini dapat dilihat dari Firman Allah surat Al-Mujadillah ayat 11 yang berbunyi:
 يايها الذين امنوا اذا قيل لكم تفسحوا في المجلس فافسحو يفسح الله لكم ج و اذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع الله الذين امنوا منكم لا والذين اوتوا العلم درجت قلى والله بما تعملو ن خبير
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[17]
Tugas-tugas dari seorang pendidik adalah :
1.      Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
2.      Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3.      Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya. Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membaha hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.[18]
Sedangkan tanggung jawab dari seorang pendidik adalah:
1.      Bertanggung jawab moral.
2.      Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
3.      Tanggung jawab kemasyarakatan.
4.      Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.

Syaiful Bahri Djamarah, menuliskan tugas pendidik adalah;
1.      Korektor; Yaitu pendidik bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk, koreksi yang dilakukan bersifat menyeluruh dari afektif sampai ke psikomotor.
2.      Inspirator; pendidik menjadi inspirator/ilham bagi kemajuan belajar mahasiswa, petunjuk bagaimana belajar yang baik dan mengatasi permasalahan lainya.
3.      Informator; pendidik harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.      Organisator; Mampu mengelola kegiatan akademik (belajar)
5.      Motivator; Mampu mendorong peserta didik agar bergairah dan aktif belajar
6.      Inisiator; pendidik menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran.
7.      Fasilitator; pendidik dapat memberikan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar.
8.      Pembimbing; membimbing anak didik manusia dewasa susila yang cakap.
9.      Demonstrator; jika diperlukan pendidik bisa mendemontrasikan bahan pelajaran yang susah dipahami.
10.  Pengelola kelas; mengelola kelas untuk menunjang interaksi edukatif.
11.  Mediator; pendidik menjadi media yag berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaktif edukatif.
12.  Supervisor; pendidik hendaknya dapat, memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran dan
13.  Evaluator; pendidik dituntut menjadi evaluator yag baik dan jujur.[19]

Pendidik,  jika ingin berhasil dalam dalam kegiatannya mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai juga sebagai tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur pedomannya berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali  -sebagaimana dikutip Al-Abrasy- menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik sebagai berikut:[20]
Pertama, sayang kepada murid sebagaimana sayangnya kepada anaknya sendiri dan berusah memberi pelajaran yang dapat membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah lebih mulia daripada tugas kedua orang tua. Pendidik adalah sebab bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sedang orang tua hanyalah sebab bagi kelahiran anak ke dalam dunia fana.
Kedua, mengikuti akhlak dan keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh karena itu, seorang pendidik tidak boleh mengharapkan gaji, upah atau ucapan terima kasih. Ia mengajar harus dengan niat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ketiga, membimbing murid secara penuh, baik dalam cara belajar maupun dalam menentukan urutan pelajaran. Ia harus memulai pelajaran dari yang mudah dan berangsur meningkat kepada yang sukar. Ia harus menjelaskan juga pada murid bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh bercampur dengan niat lain kecuali karena Allah semata-mata.
Keempat, menasehati murid agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus memualai nasehat itu dari hanya sekedar sindiran serta dengan penuh kasih sayang, tidak dengan cara dengan terang-terangan, apalagi dengan kasar dan mengejek, yang malah akan membuat murid menjadi kebal atau keras kepala sehingga nasehat itu akan menjadi seumpama air dalam dalam keranjang menetes ke dalam pasir.
Kelima, menghindarkan diri dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di hadapan anak, misalnya pendidik bahasa mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik fikih mengatakan  ilmu tafsir tidak perlu dan sebagainya.
Keenam, menjaga agar materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat kematangan dan daya tangkap muridnya. Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang belum terjangkau oleh potensi inteljensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak disesuaikan malah akan membuat anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah meninggalkan pelajaran tersebut.[21]
Ketujuh, memilihkan mata pelajaran yang sesuai untuk  anak-anak  yang kurang pandai atau bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut bahwa di belakang dari ilmu yang sedang diajarkanya masih banyak rahasia yang hanya ia sendiri mengetahuinya. Kadang-kadang pendidik, dengan sikap menyembunyikan semacam itu, ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya sehingga orang banyak harus berpendidik kepadanya .[22]
Kedelapan, mengamalkan ilmunya, serta perkataannya tidak boleh berlawanan dengan realitas zhahir perbuatannya. Sebab, jika demikian halnya maka murid-murid tidak akan hormat kepadanya.[23]
C.2.  Tujuan Pendidik
Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[24]
Orang yang pertama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan anaknya.
Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Namun karena mereka tidak mempunayai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira mampu atau berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.
C.3.   Syarat-syarat dan Sifat-sifat yang Harus Dimiliki oleh Seorang Pendidik.
Syarat-syarat umum bagi seorang pendidik adalah : Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit, syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu:
1.      Harus beragama.
2.      Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
3.      Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya dalam membentuk Negara yang demokratis.
4.      Harus memiliki perasaan panggilan murni.

Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
1.      Integritas peribadi, peribadi yang segala aspeknya berkembang secara harmonis.
2.      Integritas sosial, yaitu peribadi yang merupakan satuan dengan masyarakat.
3.      Integritas susila, yaitu peribadi yang telah menyatukan diri dengan norma-norma susila yang dipilihnya.[25]
Adapun menurut Moh. Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Hamdani Ihsan Dan Fuad Ihsan, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat tertenru agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, seperti yang diungkapkan oleh beliau adalah:
1.      Memiliki sifat Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari ridha Allah.
2.      Seorang Guru harus jauh dari dosa besar.
3.      Ikhlas dalam pekerjaan.
4.      Bersifat pemaaf.
5.      Harus mencintai peserta didiknya.[26]
D.         Pengertian Peserta Didik
peserta didik adalah makhluk Allah yang terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang belum tercaapi taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun psikologinya.[27]
Adapun peserta didik dalam pendidikan islam ialah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan. Jadi, bukan hanya ank-anak yang sedang dalam pengasuhan dan pengasihan orangtuanya, bukan pula anak-anak dalam usia sekolah.[28]
Samsul Nizar dalam “Filsafat Pendidikan Islsm: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis” menyebutkan beberapa deskripsi mengenai hakikat peserta sebagai berikut:
a.       Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Hal ini perlu dipahami, agar perlakuan terhadap mereka dalam proses pendidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa.
b.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki perbedaan dalam tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhannya. Pemahaman ini perlu diketahui agar aktivitas pendidikan islam dapat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang umumnya dialami peserta didik.
c.        Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik yang menyangkut kebutuhan jasmani atau rohani.
d.       Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki berbagai perbedaan individual (individual differentiations) baik yang disebabkan karena faktor bawaan maupun lingkungan tempat ia tinggal.
e.        Peserta didik merupakan makhluk yang terdiri dari dua unsur utama: jasmani dan ruhaniah. Unsur jasmani berkaitan dengan daya fisik yang dapat dkembangkan melalui proses pembiasaan dan latihan, sementara unsur ruhani berkaitan dengan daya akal dan daya rasa.
f.       Peserta didik adalah makhluk Allah yang telah dibekali berbagai potensi (fitrah) yang perlu dikembangkan secara terpadu.[29]
Berasarkan beberapa pendapat diatas, peserta didik dapat dikatakan sebagai orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Secara garis besar peserta didik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[30]
• Kelemahan dan ketakberdayaan.
• Berkemauan keras untuk berkembang.
• Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kekuatan).
D.1.     Adab Peserta Didik
Prof. Dr. Athiyah Al-Abrasy mengemukakan seoarang siswa yang sedang belajar wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)      Sebelum memulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk, karena belajar itu dianggap sebagai ibadah. Ibadah tidak syah kecuali dengan hati yang suci, berhias dengan moral yang baik seperti berkata benar, ikhlas, taqwa, rendah hati, zuhud, menerima apa yang ditentukan tuhan serta menjauhi sifat-sifat yang buruk, seperti dengki, iri, benci, sombong, menipu, tinggi hati dan angkuh.
2)      Dengan belajar itu ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlakh dengan maksud menonjolkan diri, berbangga dan gagah-gagahan.
3)      Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah aiar, dengan tidak ragu-ragu bepergian ketempat-tempat yang paling jauh sekalipun bila dikehendaki untuk mendatangi guru.
4)      Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya karena Allah dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
5)      Jangan terlalu sering menukar guru, tetapi haruslah ia berfikir panjang dulu sebelum bertindak hendak mengganti guru.
6)      Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia untuk menjawab pertanyaan, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat didiknya dan jangan mulai bicara, kecuali setelah mendapat izin dari guru.
7)       Jangan membuka rahasia guru, jangan pula seseorangpun meniru guru, jangan pula meminta kepada guru membukakan rahasia, terima pernyataan maaf dari guru bila selip lidahnya.
8)      Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bertanggang siang dan maalm untuk memperoleh pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
9)       Jiwa saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara siswa sehingga merupakan anak-anak yang sebapak.
10)  Siswa harus terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya mengurangi percakapan dihadapan guru, jangan mengatakan kepada guru “si anu bilang begini lain dari yang bapak katakan”, dan jangan pula ditanya tentang guru siapa teman duduknya.
11)  Hendaklah siswa tekun belajar, mengurangi pelajarannya diwaktu senja dan menjelang subuh. Waktu antara isya dan malam sahur itu adalah waktu yang penuh berkah.
12)   Bertekad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggap semua ilmu ada faedahnya, jangan meniru-niru apa yang didengarnya dan orang-orang yang terdahulu yang mengeritik dan merendahkan sebagian ilmu seperti ilmu mantiq dan ilmu filsafat.[31]
Sedangkan menurut Asma Hasan Fahmi, peserta didik sekurang-kurangnya harus memperhatikan empat hal berikut:
a)      Seorang peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum melakukan proses belajar, karena belajar dalam islam merupakan ibadah yang menuntut adanya kebersihan hati.
b)      Peserta didik harus menanamkan dalam dirinya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah meraih keutamaan akhlak, mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk bermegah-megahan atau bahkan mencari kedudukan.
c)      Seorang peserta didik harus memiliki ketabahan dan kesabaran dalam mencari ilmu, dan bila perlu melakukan perjalanan merantau untuk mencari guru, atau apa yang disebut rihlah ‘ilamiyyah.
d)     Seorang peserta didik wajib menghormati gurunya dan berusaha semaksimal mungkin meraih kerelaannya dengan berbagai macam cara yang terpuji.[32]
Syekh Az-Zarnuji dalam kitab “Ta’lim Muta’allim” menerangkan beberapa sifat dan tugas penuntut ilmu:
a)      Tawadu’ sifat sederhana, tidak sombong tidak pula rendah diri.
b)      Iffah, sifat yang menunjukkan rasa harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan/ tingkah laku yang tidak patut.
c)      Tabah (sabar), tahan dalam menghadapi kesulitan pelajaran dari guru.
d)     Sabar, tahan terhadap godaan nafsu, rendah keinginan-keinginan akan kelezatan dan terhadap godaan-godaan yang berat.
e)      Cinta ilmu dan hormat kepada guru dan keluarganya, dengan demikian ilmu itu akan bermanfaat.
f)       Sayang kepada kitab, menyimpan dengan baik, tidak membubuhi catatan supaya tidak kotor atau menggosok tulisan sehingga menjadi kabur.
g)       Hormat kepada semua penuntut ilmu dan tamalluk kepada guru dan kawan untuk mengadap ilmu dari mereka.
h)       Bersungguh-sungguh belajar dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya (bangun di tengah malam) tetapi tidak memaksakan diri sampai menjadi lemah.
i)        Teguh pendirian dan ulet dalam menuntut ilmu dan mengulangi pelajaran.
j)        Wara’, ialah sifat menahan diri dari perbuatan atau tingkah laku yang terlarang.
k)      Tawakkal, maksudnya menyerahkan kepada tuhan segala perkara. Bertawakkal adalah akhir dari proses kegiatan dan ikhtiar seseorang muslim untuk mengatasi urusannya.[33]
E.    Batas Pendidikan
E.1.     Batas Awal Pendidikan
Prof. M. Athiyah Al-Abrasy, menceritakan didalam bukunya “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam” bahwa pendidikan anak itu dimulai setelah berumur 5 tahun. Urutan-urutan ilmu yang diberikan adalah membaca Al-Qur’an, mempelajari syair, sejarah nenek monyang dan kaumnya, mengendarai kuda dan menggunakan senjata.[34]
Menurut Al-Abdari, anak dimulai dididik dalam arti sesungguhnya setelah berusia 7 tahun, karena itu beliau mengeritik orang tua yang menyekolahkan anaknya pada usia yang masih terlalu muda, yaitu sebelum usia 7 tahun.[35]
Terlepas dari beberapa pendapat diatas, dan berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW.:
“belajarlah (carilah ilmu) sejak engkau dalam buaian (ayunan) sampai keliang lahat”.
Berdasarkan kepada hadits tersebut, pendidikan dapat dimulai ketika masih dalam ayunan atau balita, karena ketika pada waktu itu, seorang anak akan mudahuntuk memahami dan mengerti apa yang disampaikan, selain itu apa yang telah diperolehnya susah untuk dilupakan.
E.2.     Batas Akhir Pendidikan
M. Munir Mursa mengatakan bahwa pendidikan islam tidak terbatas pada suatu metode atau jenjang tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hayat ia merupakan pendidik dari buaian hingga liang lahat, selalu memperbaiki diri, serta terus-menerus mengembangkan kepribadian dan memperkaya kemanusiaan, dengan perkataan lain ia senantiasa membimbing manusia untuk maju.[36]




BAB III

PENUTUP

·                Kesimpulan

Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam pada umumnya mengacu pada Al-Tarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga istilah tersebut yang populer di gunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim dan Al-Ta'dib jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.
Dalam Al-Qur`an di tegaskan bahwa Allah adalah Rabbal'alamin, artinya adalah pendidik semesta alam dan juga pendidikan bagi manusia. Pengertian tersebut diambil. Karena kata Rabbal dalam arti Tuhan dan Rabb dalam arti pendidik berasal dari asal kata yang sama.
Pendidik apabila ditinjau dari segi bahasa (etimologi), sebagaimana yang dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik
Sedangkan Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik , baik petensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
peserta didik adalah makhluk Allah yang terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang belum tercaapi taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun psikologinya.
Prof. M. Athiyah Al-Abrasy, menceritakan didalam bukunya “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam” bahwa pendidikan anak itu dimulai setelah berumur 5 tahun. Urutan-urutan ilmu yang diberikan adalah membaca Al-Qur’an, mempelajari syair, sejarah nenek monyang dan kaumnya, mengendarai kuda dan menggunakan senjata.
M. Munir Mursa mengatakan bahwa pendidika islam tidak terbatas pada suatu metode atau jenjang tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hayat ia merupakan pendidik dari buaian hingga liang lahat, selalu memperbaiki diri, serta terus-menerus mengembangkan kepribadian dan memperkaya kemanusiaan, dengan perkataan lain ia senantiasa membimbing manusia untuk maju.







DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad al-Ghazali, (2009), “Ihya Ulumuddin”, (Terj. Ismail Ya`qub, Semarang: Faizan).
Abuddin Nata, (2005), “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama).
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. (2001). “Ilmu Pendidikan”. (Jakarat: PT Rineka Cipta).
Ahmad Tafsir, (2008), “Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam”, (Bandung: Remaja Rosda Karya).
Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Thoumy, (1979). “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta:Bulan Bintang).
Aly, Hery Noer. (1999). “Ilmu Pendidikan Islam”. (Jakarta: Logos).
An-Nahlawi, Abdurrahman, (1992). “Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam”,(Bandung: CV. Dipenogoro).
Depag RI, (2007),  “Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata”, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an).
Fathiyah Hasan Sulaiman, (2004), “Madzahibu fi Al Tarbiyah, Bahtsun fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali”. (Al Qahirah : Maktabah Nahdah).
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, (2008), “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka Setia).
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, Fuad.(2001).”Filsafat Pendidikan Islam”. (Bandung: CV Pustaka Setia).
Jalal, Abdul Fattah, (1988). “Azas-azas Pendidikan Islam”. (Bandung: CV. Dipenogoro).
M. Arifin, (1987). “Filsafat Pendidikan Islam”. (Jakarta: Bumi Aksara).
Marimba, Ahmad D, (1989). “Pengantar Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Al-Ma’arif).
Moh. Athiyah Al-Abrasyi, (2003), “Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang).
Moh. Uzer Usman, (2008), “Menjadi Guru Profesional”, (Bandung: Remaja Rosdakarya).
Muhammad Naquid Al-Attas, (1994). “Konsep Pendidikan”. (Terj. Haidar Bagit, Bandung:Mizan).
Ramayulis, (2005), “Metodologi Pembelajaran Agama Islam”, (Jakarta: Kalam Mulia).
Suharto, Toto. (2006), “Filsafat Pendidikan Islam”. (Jogjakarta: Ar-Ruzz).
Syaiful Bahri Djamarah, (2003),  “Strategi Belajar Mengajar”, (Surabaya: Usaha Nasional).
Uhbiyati, Nur. (1998),“Ilmu Pendidikan Islam”. (Bandung: CV Pustaka Setia).
WJS. Poerwadarminta, (2003), “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka).


[1] Ahmad Syalabi, (1954). Tarihk Al-Tarbiyah Al-Islamiyat, Kairo: Al-Kasyaf, hal:21-23.
[2] Abdurrahman An-Nahlawi,(1992). Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam,Bandung: CV. Dipenogoro, hal:31.
[3] Far al-Razy dalam Arifudin, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam,hal: 27.
[4] Abdul Fattah Jalal, (1988). Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung: CV. Dipenogoro, hal:29-30.
[5] Arifuddin Arif, 2008, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kultura,hal:31-32.
[6] Ibit, hal: 32.
[7] Abu Hamid al-Ghazaly, Ihya’ ulumudin, juz 3, Maktabah Syamilah, 400.
[8] Muhammad Naquid Al-Attas,(1994). Konsep Pendidikan. Terj. Haidar Bagit, Bandung:Mizan, hal:63-64.
[9] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany,(1979). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:Bulan Bintang. Hal:32-99.
[10]Ahmad D Marimba,(1989). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, hal:19.
[11] Zuhairini, dkk. (2004). Filsafat pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,hal:12.
[12] WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal. 302.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 12.
[14] Ramayulis, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal. 19.
[15] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 210.
[16] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 5.
[17] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an, 2007), hal. 417.
[18] Abu Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail Ya`qub, (Semarang: Faizan, 2009), hal. 34.
[19] Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Surabaya: Usaha Nasional, 2003), hal. 12.
[20] Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 2003), hal. 150-151.
[21] Fathiyah Hasan Sulaiman, Madzahibu fi Al Tarbiyah, Bahtsun fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali. (Al Qahirah : Maktabah Nahdah, 2004), hal. 36.
[22] Ibid., hal. 37.
[23] Muhammad Al-Ghazali, op.cit., hal. 55-58.
[24] Ibid., hal. 63.
[25] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Media, 2008),  hal. 103.
[26] Ibid., hal. 104
[27] Toto sunarto.Filsafat Pendidikan Islam”. Jogjakarta: Ar-Ruzz.2006.hal: 123.
[28] Hery Noer Aly. “Ilmu Pendidikan Islam”. Jakarta: Logos.1999, hal:113.
[29] Toto Suharto,Opcit, hal:124-125.
[30] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. “Ilmu Pendidikan”. Jakarat: PT Rineka Cipta.2001,hal:40.
[31] Nur Uhbiyati,. “Ilmu Pendidikan Islam”. Bandung: CV Pustaka Setia.1998,hal:108-110.
[32] Toto sunarto. Opcit.hal:127-128.
[33] Nur uhbiyati. Opcit.hal:110.
[34] Ibit, hal:96-97.
[35] Ibit, hal:97.
[36] Hery Noer Aly. Opcit,hal:137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar