BAB I
PENDAHULUAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan kita dengan
bentuk yang sebaik-baiknya dengan memberikan suatu yang berharga tentunya yaitu
akal. Dan tidak lupa pula sholawat serta salam kita curahkan kepada junjungan
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alm yang gelap gulita
menuju alam yang terang benerang yaitu agama islam.
Kemunculan dan perkembangan tradisi keilmuan, pemikiran, dan
filsafat di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan
(kebudayaan dan peradaban) yang mengitarinya. Kemunculan dan perkembangan bukan
suatu yang orisinal dan baru sama sekali tetapi merupakan formulasi baru yang
merupakan perpaduan antara kebudayaan dan peradaban yang sudah ada.
Pendidikan Islam yang mulai sejak dahulu adalah suatu proses
pembelajaran yang dapat mengubah tingkah laku dari peserta didik sehingga
menjadi tingkah laku yang tidak dilarang oleh agama dan Negara hal tersebut
dapat diketahui dengan evaluasi yang biasanya dilakukan setiap akhir periode
dari proses belajar-mengajar tersebut.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas dari bapak
dosen yang telah dipercayakan kepada kami untuk memberi pemahaman mengenai Hakekat Pendidikan Islam
dan Etika Keilmuan. Disamping itu makalah ini diharapkan mengisi dan memperkaya
khazanah keilmuan sekitar Filsafat pendidikan Islam serta melengkapi
kepustakaan yang ada.
Melalui kesempatan ini kami berpegang pada prinsip “tidak ada
gading yang tak retak” dan “tidak ada istilah final dalam ilmu”, maka kami
menyadari bahwa makalah ini bukan karya yang final. Oleh karena itu dengan
segala senang hati, kritik dan saran serta pandangan dari berbagai pihak sangat
diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Ø Rumusan Maslah
1.
Pengertian Pendidikan Islam?
2.
Pendidikan Islam dalam
Perspektif Al-Qur’an?
3.
Hakekat Pendidik?
4.
Pengertian Peserta Didik?
5.
Batas Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN ETIKA KEILMUAN
A.
Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam pada umumnya mengacu pada
Al-Tarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga istilah tersebut yang populer di
gunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim
dan Al-Ta'dib jarang sekali digunakan.
Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan
sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[1]
A.1. at-Tarbiyah
Istilah at-Tarbiyah
berasal dari kata Arab, yang berarti:
a. Bertambah dan berkembang ( ربا - يربو – ربا)
b. Tumbuh dan berkembang (ربي - يربي - تربية )
c. Memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan
menjaga kelestariannya (ربّ - يُربّ - ربا)
Istilah Al-Tarbiyah berasal dari kata Rab. Walaupun kata ini
memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh,
berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau
ekstiensinnya. Proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang di
berikan Allah sebagai "pendidik" seluruh ciptaan Nya, termasuk
manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandungkan dalam Al-Tarbiyah,
terdiri dari empat unsur pendekatan, yaitu:
1. Memelihara dan menjaga fitrah
anak didik menjelang dewasa (baligh)
2.
Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3. Mengarahkan
seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
4. Melaksanakan pendidikan secara
bertahap.[2]
Dalam al-Qur’an secara implisit memang tidak ditemukan penunjukan kata
at-tarbiyah, namun kata tersebut dapat ditelusuri pada istilah lain yang seakar dengan kata at-tarbiyah, yaitu pada firman Allah
(QS. Al Isra’/17:24):
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya:“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Menurut fahr al-Razy,
kata “Rabbayani” merupakan pendidikan dalam bentuk luas, term tersebut tidak
hanya menunjukkan pada makna pendidikan yang bersifat ucapan (domain kognitif),
tapi juga meliputi pendidikan pada aspek tingkah laku (domain afektif).[3]
A.2. al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti
pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan,
dan keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)
Artinya:“dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim (allama)
pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit.
Pengertiannya hanya sebatas proses pentranferan seperangkat ilmu pengetahuan
atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai
yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut
pada domain afektif.
Istilah Al-Ta'lim adalah telah digunakan sejak periode awal
pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat
universal di banding Al-Tarbiyah mupun Al-Ta'dib. Misalnya mengartikan
Al-Ta`lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. melainkan membawa kaum muslimin
kepada nilai pendidikan tazkiyah dan annafs (pensucian diri) dari segala
kotoran, sehingga memungkinkannya menerima alhikmah serta mempelajari segala
yang bermanfaat untuk diketahui.[4]
A.3. al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba”
yang berarti:
a. Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu” yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan
sopan santun.
b. Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta
atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c. Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung
pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member tindakan.[5]
Dalam hadist Nabi disebutkan:
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأدِيْبِي. (رواه العكسري عن علي(
Artinya: “Tuhan telah mendidikku, maka ia
sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Aksary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan
hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung
pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa,
sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku
dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan.[6]
Orientasi kata al-ta’dib lebih
terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Dalam
hadits disebutkan:
عن عا ئشة سُأِلَتْ عَنْ أَخْلاَقِ رَسُولِ الله صلعم قَالَتْ كَانَ خلـــقه القُرْأن
Artinya: “Aisyah Ra ditanya tentang akhlak
Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”[7]
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya
mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ummat
manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap. Ia merupakan pedoman
normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Istilah Al-Ta'dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur angsur di tanamkan pada diri manusia (peserta didik) tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah
pengenalan dan pengakuan kepada Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan
kepribadiannya.[8] Di antara
batasan yang sangat variatif tersebut adalah;
1.
Mengemukakan
bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta
didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.[9]
2.
Mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta
didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan
kehidupan yang mulia.
3.
Mengemukakan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).[10]
4.
Mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
B. Pendidikan Islam dalam
Perspektif Al-Qur’an
Dalam Al-Qur`an di tegaskan bahwa Allah adalah Rabbal'alamin,
artinya adalah pendidik semesta alam dan juga pendidikan bagi manusia.
Pengertian tersebut diambil. Karena kata Rabbal dalam arti Tuhan dan Rabb dalam
arti pendidik berasal dari asal kata yang sama. Dengan demikian menurut
Al-Qur’an tersebut alam dan manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang dan
yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tersebut tidak lain kecuali Allah
juga. Jadi mendidik dan pendidik pada hakikatmya adalah fungsi Tuhan dan
mendidik adalah mengatur serta, mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan alam
dan manusia sekaligus. Kenapa kenyataan bahwa pendidik dan mendidik itu menjadi
urusan manusia. Dalam pandangan filsafat Islam, sebagai mana ditegaskan dalam
Al-Qur’an, bahwa pada hakikatnya manusia adalah "Khalifah Allah di alam semesta
ini "Khalifah berarti kuasa atau wakil.[11]
C. Hakekat Pendidik
Pendidik apabila ditinjau dari segi bahasa (etimologi),
sebagaimana yang dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah orang yang
mendidik.[12] Di dalam bahasa Inggris dikenal dengan Teacher
yang diartikan guru atau pengajar, atau tutor yang berarti guru pribadi
(private). Dalam bahasa Arab disebut Ustadz/zah, Mudarris, Mu`allim,
Mu`addib, selanjutnya dalam bahasa Arab kata Ustadz adalah jamak dari
asatidz yang berarti guru (teacher), profesor (gelar akademik), jenjang
dalam bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyair. adapun kata Mudarris
berarti Teacher (guru), instruktor (pelatih), trainer (pemandu). sedangkan
kata Muaddib berarti educator/pendidik atau Teacher In Coranic School
(guru dalam lembaga pendidikan al-Qur`an).[13]
Sedangkan Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi
peserta didik , baik petensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam.[14]
Secara terminologi, pengertian yang lebih implisit kata
pendidik dapat diartikan dengan guru, sebagaimana yang disampaikan oleh Hadari
Nawawi yang dikutip oleh Moh. Uzer, pendidik adalah orang yang kerjanya
mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas. Bahwa guru yang
berarti orang yang bekerja sebagai tenaga pengajar yang ikut juga bertanggung
jawab dalam membantu peserta didik untuk mencapai proses kedewasaan. Tetapi
dalam hal ini banyak disalah artikan banyak orang, bahwa hanya gurulah yang
bertanggung jawab dalam proses pendidikan. Tetapi yang sesungguhnya adalah baik
masyarakat lebih-lebih orang tua peserta didik bersama-sama membangun proses
pendidikan, agar menjadi masyarakat yang dewasa pula.[15]
Dikutip dari Abuddin Nata, pengertian pendidik adalah orang
yang mendidik. Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang
melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam
persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional
kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan,
keterampilan.[16]
C.1. Tugas dan Tanggung
Jawab Pendidik.
Dalam Islam tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu
yang sangat mulia. Posisi ini menyebabkan mengapa Islam menempatkan orang-orang
yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi derajatnya bila dibanding
dengan manusia lainnya, hal ini dapat dilihat dari Firman Allah surat
Al-Mujadillah ayat 11 yang berbunyi:
يايها الذين امنوا اذا قيل لكم تفسحوا في المجلس فافسحو يفسح الله لكم ج و اذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع الله الذين امنوا منكم لا والذين اوتوا العلم درجت قلى والله بما تعملو ن خبير
Artinya: “Hai orang-orang beriman
apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis",
Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.[17]
Tugas-tugas dari seorang pendidik adalah :
1.
Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan
terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan
sebagainya.
2.
Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan
dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang
memuaskan.
3.
Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan,
seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya. Seperti yang dikemukakan
oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan,
menyempurnakan serta membaha hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.[18]
Sedangkan tanggung jawab dari seorang pendidik adalah:
1.
Bertanggung jawab moral.
2.
Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
3.
Tanggung jawab kemasyarakatan.
4.
Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.
Syaiful Bahri Djamarah, menuliskan tugas pendidik adalah;
1.
Korektor; Yaitu pendidik bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana
nilai yang buruk, koreksi yang dilakukan bersifat menyeluruh dari afektif
sampai ke psikomotor.
2.
Inspirator; pendidik menjadi inspirator/ilham bagi kemajuan belajar
mahasiswa, petunjuk bagaimana belajar yang baik dan mengatasi permasalahan
lainya.
3.
Informator; pendidik harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4.
Organisator; Mampu mengelola kegiatan akademik (belajar)
5.
Motivator; Mampu mendorong peserta didik agar bergairah dan aktif
belajar
6.
Inisiator; pendidik menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan
dan pengajaran.
7.
Fasilitator; pendidik dapat memberikan fasilitas yang memungkinkan
kemudahan kegiatan belajar.
8.
Pembimbing; membimbing anak didik manusia dewasa susila yang cakap.
9.
Demonstrator; jika diperlukan pendidik bisa mendemontrasikan bahan
pelajaran yang susah dipahami.
10. Pengelola
kelas; mengelola
kelas untuk menunjang interaksi edukatif.
11. Mediator; pendidik menjadi media yag
berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaktif
edukatif.
12. Supervisor; pendidik hendaknya dapat,
memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran dan
Pendidik, jika ingin berhasil dalam dalam kegiatannya
mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai juga sebagai
tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur
pedomannya berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali -sebagaimana
dikutip Al-Abrasy- menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik sebagai berikut:[20]
Pertama, sayang kepada murid sebagaimana sayangnya kepada anaknya
sendiri dan berusah memberi pelajaran yang dapat membebaskannya dari api
neraka. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah lebih mulia daripada tugas kedua
orang tua. Pendidik adalah sebab bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sedang
orang tua hanyalah sebab bagi kelahiran anak ke dalam dunia fana.
Kedua, mengikuti akhlak dan keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh
karena itu, seorang pendidik tidak boleh mengharapkan gaji, upah atau ucapan
terima kasih. Ia mengajar harus dengan niat beribadat dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Ketiga, membimbing murid secara penuh, baik dalam cara belajar
maupun dalam menentukan urutan pelajaran. Ia harus memulai pelajaran dari yang
mudah dan berangsur meningkat kepada yang sukar. Ia harus menjelaskan juga pada
murid bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh bercampur dengan niat lain kecuali
karena Allah semata-mata.
Keempat, menasehati murid agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus
memualai nasehat itu dari hanya sekedar sindiran serta dengan penuh kasih
sayang, tidak dengan cara dengan terang-terangan, apalagi dengan kasar dan
mengejek, yang malah akan membuat murid menjadi kebal atau keras kepala
sehingga nasehat itu akan menjadi seumpama air dalam dalam keranjang menetes ke
dalam pasir.
Kelima, menghindarkan diri dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di
hadapan anak, misalnya pendidik bahasa mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik
fikih mengatakan ilmu tafsir tidak perlu dan sebagainya.
Keenam, menjaga agar materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat
kematangan dan daya tangkap muridnya. Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang
belum terjangkau oleh potensi inteljensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak
disesuaikan malah akan membuat anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah
meninggalkan pelajaran tersebut.[21]
Ketujuh, memilihkan mata pelajaran yang sesuai untuk
anak-anak yang kurang pandai atau bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut
bahwa di belakang dari ilmu yang sedang diajarkanya masih banyak rahasia yang
hanya ia sendiri mengetahuinya. Kadang-kadang pendidik, dengan sikap
menyembunyikan semacam itu, ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang
sangat dalam ilmunya sehingga orang banyak harus berpendidik kepadanya .[22]
Kedelapan, mengamalkan ilmunya, serta perkataannya tidak boleh
berlawanan dengan realitas zhahir perbuatannya. Sebab, jika demikian halnya
maka murid-murid tidak akan hormat kepadanya.[23]
C.2. Tujuan
Pendidik
Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk
memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai
makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri
sendiri.[24]
Orang yang pertama yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya
pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab
terhadap masa depan anaknya.
Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Namun karena
mereka tidak mempunayai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka
menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira mampu atau
berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.
C.3. Syarat-syarat dan Sifat-sifat yang
Harus Dimiliki oleh Seorang Pendidik.
Syarat-syarat umum bagi seorang pendidik adalah : Sehat
Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit, syarat untuk menjadi seorang
pendidik yaitu:
1.
Harus beragama.
2.
Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
3.
Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya dalam membentuk
Negara yang demokratis.
4.
Harus memiliki perasaan panggilan murni.
Sedangkan
sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
1.
Integritas peribadi, peribadi yang segala aspeknya berkembang
secara harmonis.
2.
Integritas sosial, yaitu peribadi yang merupakan satuan dengan
masyarakat.
3.
Integritas susila, yaitu peribadi yang telah menyatukan diri
dengan norma-norma susila yang dipilihnya.[25]
Adapun menurut Moh. Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh
Hamdani Ihsan Dan Fuad Ihsan, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat
tertenru agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, seperti yang
diungkapkan oleh beliau adalah:
1.
Memiliki sifat Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi
dan mengajar karena mencari ridha Allah.
2.
Seorang Guru harus jauh dari dosa besar.
3.
Ikhlas dalam pekerjaan.
4.
Bersifat pemaaf.
5.
Harus mencintai peserta didiknya.[26]
D. Pengertian Peserta Didik
peserta didik adalah makhluk Allah yang terdiri dari aspek jasmani dan
rohani yang belum tercaapi taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual,
maupun psikologinya.[27]
Adapun peserta didik dalam pendidikan islam ialah setiap manusia yang
sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan. Jadi, bukan hanya ank-anak
yang sedang dalam pengasuhan dan pengasihan orangtuanya, bukan pula anak-anak
dalam usia sekolah.[28]
Samsul Nizar dalam “Filsafat Pendidikan Islsm: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis” menyebutkan beberapa deskripsi mengenai hakikat peserta
sebagai berikut:
a.
Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, tetapi ia memiliki dunianya
sendiri. Hal ini perlu dipahami, agar perlakuan terhadap mereka dalam proses
pendidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa.
b.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki perbedaan dalam tahap-tahap
perkembangan dan pertumbuhannya. Pemahaman ini perlu diketahui agar aktivitas
pendidikan islam dapat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
yang umumnya dialami peserta didik.
c.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi
baik yang menyangkut kebutuhan jasmani atau rohani.
d.
Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki berbagai perbedaan
individual (individual differentiations) baik yang disebabkan karena faktor
bawaan maupun lingkungan tempat ia tinggal.
e.
Peserta didik merupakan makhluk yang terdiri dari dua unsur utama: jasmani
dan ruhaniah. Unsur jasmani berkaitan dengan daya fisik yang dapat dkembangkan
melalui proses pembiasaan dan latihan, sementara unsur ruhani berkaitan dengan
daya akal dan daya rasa.
f.
Peserta didik adalah makhluk Allah yang telah dibekali berbagai potensi
(fitrah) yang perlu dikembangkan secara terpadu.[29]
Berasarkan beberapa pendapat diatas, peserta didik dapat dikatakan sebagai
orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang
masih perlu dikembangkan.
Secara garis besar peserta didik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[30]
• Kelemahan dan ketakberdayaan.
• Berkemauan keras untuk
berkembang.
• Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh
kekuatan).
D.1. Adab Peserta Didik
Prof. Dr. Athiyah Al-Abrasy mengemukakan seoarang siswa yang sedang belajar
wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)
Sebelum memulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya
dari segala sifat yang buruk, karena belajar itu dianggap sebagai ibadah.
Ibadah tidak syah kecuali dengan hati yang suci, berhias dengan moral yang baik
seperti berkata benar, ikhlas, taqwa, rendah hati, zuhud, menerima apa yang
ditentukan tuhan serta menjauhi sifat-sifat yang buruk, seperti dengki, iri,
benci, sombong, menipu, tinggi hati dan angkuh.
2)
Dengan belajar itu ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fadhilah,
mendekatkan diri kepada Allah, bukanlakh dengan maksud menonjolkan diri, berbangga
dan gagah-gagahan.
3)
Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah aiar,
dengan tidak ragu-ragu bepergian ketempat-tempat yang paling jauh sekalipun
bila dikehendaki untuk mendatangi guru.
4)
Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya
karena Allah dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang
baik.
5)
Jangan terlalu sering menukar guru, tetapi haruslah ia berfikir panjang
dulu sebelum bertindak hendak mengganti guru.
6)
Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia
untuk menjawab pertanyaan, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat
didiknya dan jangan mulai bicara, kecuali setelah mendapat izin dari guru.
7)
Jangan membuka rahasia guru, jangan pula seseorangpun meniru guru, jangan
pula meminta kepada guru membukakan rahasia, terima pernyataan maaf dari guru
bila selip lidahnya.
8)
Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bertanggang siang dan maalm untuk
memperoleh pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
9)
Jiwa saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara
siswa sehingga merupakan anak-anak yang sebapak.
10)
Siswa harus terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya mengurangi
percakapan dihadapan guru, jangan mengatakan kepada guru “si anu bilang begini
lain dari yang bapak katakan”, dan jangan pula ditanya tentang guru siapa teman
duduknya.
11)
Hendaklah siswa tekun belajar, mengurangi pelajarannya diwaktu senja dan
menjelang subuh. Waktu antara isya dan malam sahur itu adalah waktu yang penuh
berkah.
12)
Bertekad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang
ilmu, tetapi hendaklah menganggap semua ilmu ada faedahnya, jangan meniru-niru
apa yang didengarnya dan orang-orang yang terdahulu yang mengeritik dan
merendahkan sebagian ilmu seperti ilmu mantiq dan ilmu filsafat.[31]
Sedangkan menurut Asma Hasan Fahmi, peserta didik sekurang-kurangnya harus
memperhatikan empat hal berikut:
a)
Seorang peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit
jiwa sebelum melakukan proses belajar, karena belajar dalam islam merupakan
ibadah yang menuntut adanya kebersihan hati.
b)
Peserta didik harus menanamkan dalam dirinya bahwa tujuan menuntut ilmu
adalah meraih keutamaan akhlak, mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk
bermegah-megahan atau bahkan mencari kedudukan.
c)
Seorang peserta didik harus memiliki ketabahan dan kesabaran dalam mencari
ilmu, dan bila perlu melakukan perjalanan merantau untuk mencari guru, atau apa
yang disebut rihlah ‘ilamiyyah.
d)
Seorang peserta didik wajib menghormati gurunya dan berusaha semaksimal
mungkin meraih kerelaannya dengan berbagai macam cara yang terpuji.[32]
Syekh Az-Zarnuji dalam kitab “Ta’lim Muta’allim” menerangkan beberapa sifat
dan tugas penuntut ilmu:
a)
Tawadu’ sifat
sederhana, tidak sombong tidak pula rendah diri.
b)
Iffah, sifat yang menunjukkan rasa harga
diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan/ tingkah laku yang
tidak patut.
c)
Tabah (sabar), tahan dalam menghadapi kesulitan pelajaran dari guru.
d)
Sabar, tahan terhadap godaan nafsu, rendah keinginan-keinginan akan
kelezatan dan terhadap godaan-godaan yang berat.
e)
Cinta ilmu dan hormat kepada guru dan keluarganya, dengan demikian ilmu itu
akan bermanfaat.
f)
Sayang kepada kitab, menyimpan dengan baik, tidak membubuhi catatan supaya
tidak kotor atau menggosok tulisan sehingga menjadi kabur.
g)
Hormat kepada semua penuntut ilmu dan tamalluk kepada guru dan kawan untuk
mengadap ilmu dari mereka.
h)
Bersungguh-sungguh belajar dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya (bangun
di tengah malam) tetapi tidak memaksakan diri sampai menjadi lemah.
i)
Teguh pendirian dan ulet dalam menuntut ilmu dan mengulangi pelajaran.
j)
Wara’, ialah sifat menahan diri dari perbuatan atau tingkah laku yang
terlarang.
k)
Tawakkal, maksudnya menyerahkan kepada tuhan segala perkara. Bertawakkal
adalah akhir dari proses kegiatan dan ikhtiar seseorang muslim untuk mengatasi
urusannya.[33]
E. Batas Pendidikan
E.1. Batas Awal Pendidikan
Prof. M. Athiyah Al-Abrasy, menceritakan didalam bukunya “Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam” bahwa pendidikan anak itu dimulai setelah berumur 5 tahun.
Urutan-urutan ilmu yang diberikan adalah membaca Al-Qur’an, mempelajari syair,
sejarah nenek monyang dan kaumnya, mengendarai kuda dan menggunakan senjata.[34]
Menurut Al-Abdari, anak dimulai dididik dalam arti sesungguhnya setelah
berusia 7 tahun, karena itu beliau mengeritik orang tua yang menyekolahkan
anaknya pada usia yang masih terlalu muda, yaitu sebelum usia 7 tahun.[35]
Terlepas dari beberapa pendapat diatas, dan berdasarkan pada hadits Nabi
Muhammad SAW.:
“belajarlah (carilah ilmu) sejak engkau dalam buaian (ayunan) sampai
keliang lahat”.
Berdasarkan kepada hadits tersebut, pendidikan dapat dimulai ketika masih
dalam ayunan atau balita, karena ketika pada waktu itu, seorang anak akan
mudahuntuk memahami dan mengerti apa yang disampaikan, selain itu apa yang
telah diperolehnya susah untuk dilupakan.
E.2. Batas Akhir Pendidikan
M. Munir Mursa mengatakan bahwa pendidikan islam tidak terbatas pada suatu
metode atau jenjang tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hayat ia merupakan
pendidik dari buaian hingga liang lahat, selalu memperbaiki diri, serta
terus-menerus mengembangkan kepribadian dan memperkaya kemanusiaan, dengan
perkataan lain ia senantiasa membimbing manusia untuk maju.[36]
BAB III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam pada umumnya mengacu pada
Al-Tarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga istilah tersebut yang populer di
gunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim
dan Al-Ta'dib jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah
digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.
Dalam Al-Qur`an di tegaskan bahwa Allah adalah Rabbal'alamin,
artinya adalah pendidik semesta alam dan juga pendidikan bagi manusia.
Pengertian tersebut diambil. Karena kata Rabbal dalam arti Tuhan dan Rabb dalam
arti pendidik berasal dari asal kata yang sama.
Pendidik apabila ditinjau dari segi
bahasa (etimologi), sebagaimana yang dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah
orang yang mendidik
Sedangkan Pendidik dalam perspektif
pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan seluruh potensi peserta didik , baik petensi afektif, kognitif,
maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pendidik adalah orang yang
mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak
didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya,
mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai
individu yang sanggup berdiri sendiri.
peserta didik adalah makhluk Allah yang terdiri dari
aspek jasmani dan rohani yang belum tercaapi taraf kematangan, baik fisik,
mental, intelektual, maupun psikologinya.
Prof. M. Athiyah Al-Abrasy, menceritakan didalam bukunya
“Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam” bahwa pendidikan anak itu dimulai setelah
berumur 5 tahun. Urutan-urutan ilmu yang diberikan adalah membaca Al-Qur’an,
mempelajari syair, sejarah nenek monyang dan kaumnya, mengendarai kuda dan
menggunakan senjata.
M. Munir Mursa mengatakan bahwa pendidika islam tidak
terbatas pada suatu metode atau jenjang tertentu, tetapi berlangsung sepanjang
hayat ia merupakan pendidik dari buaian hingga liang lahat, selalu memperbaiki
diri, serta terus-menerus mengembangkan kepribadian dan memperkaya kemanusiaan,
dengan perkataan lain ia senantiasa membimbing manusia untuk maju.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad al-Ghazali, (2009), “Ihya
Ulumuddin”, (Terj. Ismail Ya`qub, Semarang: Faizan).
Abuddin Nata, (2005), “Filsafat
Pendidikan Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama).
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. (2001). “Ilmu
Pendidikan”. (Jakarat: PT Rineka Cipta).
Ahmad Tafsir, (2008), “Ilmu
Pendidikan Dalam Persepektif Islam”, (Bandung: Remaja Rosda Karya).
Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Thoumy, (1979). “Filsafat
Pendidikan Islam”, (Jakarta:Bulan Bintang).
Aly, Hery Noer. (1999). “Ilmu Pendidikan Islam”. (Jakarta:
Logos).
An-Nahlawi, Abdurrahman, (1992). “Prinsip-prinsip dan Metode
Pendidikan Islam”,(Bandung: CV. Dipenogoro).
Depag RI, (2007), “Al-Qur’an
dan Terjemahnya Perkata”, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an).
Fathiyah Hasan Sulaiman, (2004), “Madzahibu
fi Al Tarbiyah, Bahtsun fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali”. (Al Qahirah
: Maktabah Nahdah).
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan,
(2008), “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka Setia).
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, Fuad.(2001).”Filsafat
Pendidikan Islam”. (Bandung: CV Pustaka Setia).
Jalal, Abdul Fattah, (1988). “Azas-azas Pendidikan Islam”. (Bandung:
CV. Dipenogoro).
M. Arifin, (1987). “Filsafat Pendidikan Islam”. (Jakarta:
Bumi Aksara).
Marimba, Ahmad D, (1989). “Pengantar Filsafat Pendidikan Islam”,
(Bandung: Al-Ma’arif).
Moh. Athiyah Al-Abrasyi, (2003), “Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang).
Moh. Uzer Usman, (2008), “Menjadi
Guru Profesional”, (Bandung: Remaja Rosdakarya).
Muhammad Naquid Al-Attas, (1994). “Konsep Pendidikan”. (Terj.
Haidar Bagit, Bandung:Mizan).
Ramayulis, (2005), “Metodologi
Pembelajaran Agama Islam”, (Jakarta: Kalam Mulia).
Suharto, Toto. (2006), “Filsafat Pendidikan Islam”.
(Jogjakarta: Ar-Ruzz).
Syaiful Bahri Djamarah, (2003), “Strategi
Belajar Mengajar”, (Surabaya: Usaha Nasional).
Uhbiyati, Nur. (1998),“Ilmu Pendidikan Islam”.
(Bandung: CV Pustaka Setia).
WJS. Poerwadarminta, (2003), “Kamus
Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka).
[2] Abdurrahman An-Nahlawi,(1992). Prinsip-prinsip dan Metode
Pendidikan Islam,Bandung: CV. Dipenogoro, hal:31.
[4] Abdul Fattah Jalal, (1988). Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung:
CV. Dipenogoro, hal:29-30.
[6] Ibit, hal: 32.
[8] Muhammad Naquid Al-Attas,(1994). Konsep Pendidikan. Terj.
Haidar Bagit, Bandung:Mizan, hal:63-64.
[9]
Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany,(1979). Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta:Bulan Bintang. Hal:32-99.
[10]Ahmad
D Marimba,(1989). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, hal:19.
[11] Zuhairini, dkk. (2004). Filsafat pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara,hal:12.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 12.
[18] Abu Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail
Ya`qub, (Semarang: Faizan, 2009), hal. 34.
[20] Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 2003), hal. 150-151.
[21] Fathiyah Hasan Sulaiman, Madzahibu fi Al Tarbiyah, Bahtsun
fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali. (Al Qahirah : Maktabah Nahdah,
2004), hal. 36.
[25] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
CV. Pustaka Media, 2008), hal. 103.
[29] Toto Suharto,Opcit,
hal:124-125.
[33] Nur uhbiyati.
Opcit.hal:110.
[34] Ibit,
hal:96-97.
[35] Ibit, hal:97.
[36] Hery Noer Aly.
Opcit,hal:137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar